Ingat! Di Mesir Bukan Lagi Di Indonesia

>> Jumat, Desember 05, 2008

Bumi Mesir membiaskan bekas-bekas jejak langkahmu sejak hari awal kedatanganmu hingga kini. Entahlah sudah berapa bilangan sinaran langkah yang terpantul di atas himpunan pasir, debu, bebatuan, dan kerikil-kerikil yang menjadi saksi mobilitasmu selama kurun waktu itu. Ribuan atau mungkin ratusan ribu langkah. Makin panjang waktu yang tertoreh dan makin jauh kaki melangkah, sudahkah kau memberikan hal yang terbaik untuk mereka yang menunggumu?

Kedatanganmu di Mesir dihiasi dengan berbagai harapan yang sangat sulit kau penuhi dalam bentangan waktu empat tahun. Dari peningkatan bahasa, pengkondisian diri, termasuk peningkatan mental pribadi. Semuanya serba sulit untuk terpenuhi karena waktu dan kekuatanmu yang serba terbatas.

Teringat kau akan ultimatum orangtuamu yang kerap berkelebat di kibaran sanubarimu, "Nak, di Mesir kuliahmu hanya menggantungkanmu pada muqarrar. Kamu tak perlu ke sana. Dikirim muqarrar al-Azhar saja sudah cukup. Tinggal dibaca dan dipelajari muqarrar itu, kamu akan meraih gelar Lc. Daripada kuliah jauh-jauh dan mahal hanya untuk meraih Lc, lebih baik kamu kuliah di Indonesia saja. So, kalau memang kamu ingin belajar di Mesir, kamu harus banyak berinteraksi dengan orang Mesir, berbahasa Mesir, dan mempelajari tabiat dan kehidupan mereka. Kalau kamu ke Mesir tapi tetap kental dengan suasana Indonesia, mendingan di Indonesia saja. Ingat! Kamu itu kuliah di Mesir bukan di Indonesia." Kau tak berkutik. Tak mampu membantah tutur kata beliau. Yang terbesit seketika itu adalah bahwa kau akan tetap teguh pada pendirian menimba ilmu di bumi kinanah ini. Apapun hasilnya nanti, kau pasrah.

Pertama menginjakkan kaki di Ardh al-Anbiyâ' ini, kau mantapkan hati dan teguhkan diri bersikukuh meningkatkan bahasa dan mengkondisikan diri. Berbagai cara telah kau coba. Percakapanmu dengan kawan-kawan Indonesiamu telah kau usahakan berbahasa Arab. Talaqqî telah kau coba. Interaksi 'hanya' dengan orang Mesir ketika masa aktif muhâdharah dan sedikit menjauh dari kawan-kawan sekampung halaman telah kau laksanakan. Sayang, tetap saja usahamu tak berhasil.

Selang sang waktu menjelang, kau kolaps. Kapalmu beralih haluan. Angin ke-Indonesia-an yang mengitarimu –mengingat ketika itu fenomena bahasa, adat istiadat, pergaulan hampir-hampir kesemuanya kental dengan tanah airmu- berhembus kuat. Tak terasa semasa tiga tahun batang usiamu di Mesir ini kau 'terlupa' akan tanggungjawab yang terutarakan dulu.

Agaknya kau terlena dengan fenomena negara boneka Indonesia yang telah menarik-narikmu memaksa-maksamu mengubah status belajar menjadi 'mahasiswi di negara Indonesia'. Kau limbung. Tak tahu apa yang akan kau berikan pada negaramu kelak. Untuk sedikit menghiburmu, kau berkilah, "Setidaknya aku di Mesir tak main-main."

Hm hm hm... Rupanya apologi ini berhasil menghiburmu walau jujur saja juga melenakanmu. Harapan-harapan yang telah lalu 'agak' sedikit terlupa akibat ulah apologimu sendiri.

Ups! Kini, sisa waktu yang in syâ a Allâh diamanahkan padamu adalah setahun untuk belajar di Mesir. Kau terkesiap terkaget-kaget. Tertatih-tatih menyisiri setiap bagian harapan-harapan yang telah lalu. Rupanya kau belum memenuhi semua tanggungjawab itu. Terutama bahasa.

Selama ini pada dasarnya kau telah tahu dan mengerti dengan sangat bahwa dalam mempelajari suatu bahasa, kau harus bisa menguasai empat hal, reading, writing, speaking, dan listening. Tentunya kau telah temukan bahwa agaknya Universitas Al-Azhar lebih menekankan mahasiswanya pada aspek pertama dan kedua, reading dan writing. Writing-mu saja masih belepotan dan acak adul. Belum tentu memenuhi standar kemampuan bahasa anak Tsanawî al-Azhar. Reading-mu demikian halnya. Tertatih-tatih pula kau membaca dan memahami berhelai-helai buku.

Speaking dan listening-mu agak terlupa karena kau jarang menghadiri aktifitas perkuliahan. Keadaan ini didukung dengan keberadaanmu yang meninggalkan percakapan berbahasa Arab. Porak-poranda sudahlah perasaanmu.

Beberapa waktu lalu sangatlah parah keadaanmu. Seorang dosen mengajakmu berbincang, "Kalau kamu dikeluarkan dari asrama, kamu akan pergi ke mana?" Kau tak memahami kata-katanya. Kau jawab sekenanya, "Saya tak pergi ke mana-mana." Serta merta dahi dosenmu mengerut, "Rupanya kau tak memahami maksudku. Bukankah kau sudah belajar di Mesir selama tiga tahun?" Mendadak, merah pucat bias wajahmu. Lengkap sudah penderitaanmu.

Tahun keempat ini kau berusaha menyusun kembali puing-puing harapan orangtua dan kampungmu. Kau hadir di setiap perkuliahan. Kau menyusun jadwal kuliah dan talaqqî secara rapi dan kau menghadirinya. Dengan tegar tanpa tedeng aling-aling, kau pede dengan bahasa Arabmu walau masih ada sedikit dialek Indonesia. Kau tak malu-malu. Kau bertegur sapa dengan setiap orang berbahasa Arab. Nilai plusmu kali ini, bahasa Arab percakapan yang kau pergunakan ialah 'lughah al-takhâthûb'.

Tak hanya itu, kulihat kau rajin membaca buku-buku berbahasa Arab. Baik berbahasa Arab ringan, menengah, hingga yang sukar dipahami kau coba membaca dan mempelajarinya. Frekuensi belajarmu sangatlah tinggi. Jam belajarmu semakin padat. Istirahat yang kau sisakan hanya empat hingga enam jam tiap hari.

Kemarin, aku melihat artikel bahasa arabmu terpampang di salah satu buletin di Kairo. Menurut kawanku yang ahli bahasa, ushlub-mu makin terasah. Nahwu sharf-mu pada setiap pertautan kalimat mengalir kuat. Dzauq Arabmu kulihat telah menuju proses paripurna. Kau mulai berubah.

Perubahan beberapa waktu ini membuatku terkagum-kagum akan usahamu. Tak segan, emoticon jempol akan kutorehkan padamu jika pada saat itu aku menemuimu di dunia maya. Entahlah. Akankah perubahan ini akan terus dan terus melaju indah atau hanya sementara saja. Karena seorang kawanku pernah berkata, "Perubahan menuju arah perbaikan itu sangat mungkin terjadi di kehidupan kita yang warna-warni ini. Hanya saja, yang diperlukan pada setiap perubahan adalah kontinuitas dan konsisten." Kuharap kau camkan itu.

Setahun ke depan, kau akan mengakhiri tahun terakhirmu. Kisahmu tak sampai di sini. Masih ditunggu kelanjutannya tahun depan. Akankah kau berhasil dengan usahamu ini atau tidak? Akankah kau bersikukuh dengan konsisten dan kontinuitasmu? Ataukah kenyataan akhir-akhir ini hanya bias semata? Aku hanyalah komentator di setiap langkahmu. Semoga kau berhasil. Oh, ya. Aku ada sedikit kata hikmah buatmu, "Life is what happens to us while we are busy making plans." Yang kira-kira artinya begini, 'Hidup adalah saat-saat di mana kita disibukkan oleh berbagai perencanaan'. So, janganlah kau berhenti berencana! Kau bisa. Percayalah, percayalah!

2 komentar:

Anonim 6 Desember 2008 pukul 08.42  

Mumpung masih awal bulan. Ngasi komen ahh.....!!!

Salam

Mba' lagi ngomongin siapa nih?
Ngomongin diri sendiri ya?
*murni 100% bertanya loh Mba', ga ada maksud lain* he he

(peace..peace..damai..damai!!!)

lukmandisini 11 Desember 2008 pukul 07.30  

aslm

seru juga baca gaya tulis "aku dan diriku", nice nice

[kalo di blog sy mah jangan ngomongin gaya tulis :D]

  © Blogger template Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP