Setelah Enam Tahun; Aku Ingin Kembali Bertutur Pada Bintang

>> Selasa, Oktober 21, 2008

Di malam yang lebih rapat sambut musim dingin dibanding terik siang, aku tengadahkan wajahku menatap mayapada. Kuintip bintang yang mengecupkan sinarnya pada langit di angkasa, malu-malu. Bulan yang mulai bergerak menuju sabit sampaikan senyum simpulnya yang tak tampak ketika purnama.

Ilustrasi alam ini kembali mengais memoar kecil masa silam ketika aku beranjak berusia tujuh belas tahun. Di tanggal yang sama, walau tak ada acara tasyakuran sama sekali, adik-adik kelas dan rekan kerja serayonku –Rayon Bosnia Atas Dua- ramai-ramai mengucapkan, “Selamat Ulang Tahun ke-17, Fissa.”

Kawan sebayaku tak mau ketinggalan. Dia menimpaliku dengan nasehat, “Tujuh belas tahun itu masa dewasa lo, Fis.” Dewasa. Haruskah di usiaku yang ke-17 tahun ini aku meninggalkan masa indah remaja? Apakah lara hidupku tak memberiku kesempatan untuk menikmati masa remaja? Namun, kalau aku menginginkan kebahagiaan, kebahagiaan seperti apa sebenarnya yang aku inginkan? Aku kerap bertanya?

Pertanyaan ini masih membekas hingga sang surya beranjak ke peraduannya dan bulan menatapkan sinarnya. Tak ketinggalan, kusambut kedipan bintang malam itu walau tetap saja malu-malu biaskan kecupannya pada mayapada. Dengan dibarengi suasana belajar karena memang hari-hari itu aku harus menghadapi ujian akhir tahun, aku berujar pada bintang, “Bintang, ajari aku kedewasaan? Apakah kedewasaan harus tinggalkan kebahagiaan? Bintang, sebenarnya kedewasaan terletak di mana?”

Hari ini, genap usiaku dua puluh tiga tahun. Enam tahun sudah tak kutemui bintang di langit pesantrenku. Sekian lama aku tak mengadukan kisahku pada bintang. Termasuk bintang di langit Kairo. Dulu, di pesantren hanyalah bintang malam yang rela mendengarkan kisah-kisahku dan muqarrar-lah yang setia menemaniku. Sayangnya, hingga kini, pertanyaan ini tak kunjung kudapatkan jawabannya.

Fenomena kehidupan enam tahun yang sangat berbeda dengan masa-masa belajarku di ma’had menyeretku untuk kembali bertutur pada bintang malam ini. Kisah-kisah silam yang mengharubiru membuatku kembali pada bintang. Pada bintang langit Kairo aku bertutur, “Bintang, siapapun kamu, walau kamu bukanlah bintang langit pesantrenku, dengarkan setiap kisahku. Sampaikan pada Tuhanmu, aku ingin meraih kedewasaan. Tanyakan pada-Nya, sejatinya apakah itu kebahagiaan?”

“Bintang, hari ini jatah usiaku makin berkurang. Sedang amal kebaikanku tak kunjung bertambah. Bahkan, maksiatku kini makin berbuih. Bantulah aku meraih taubat-Nya, Bintang!”

“Bintang, agaknya fenomena lebih senang menarik-narikku untuk lebih sepakat dengan tutur Andrea Hirata, “Hati yang sepi lebih baik daripada hati yang patah.” Maka, bantulah aku untuk sukses menjadi perempuan berhati hampa! Bintang, kalaulah hatiku tak pernah dibiarkan sepi oleh-Nya, sampaikan pada Tuhanmu, aku ingin hatiku dipenuhi cinta-Nya.”

.: Islamic Mission Abbasea, on my birthday October 21st 2008
Fenomena: Di tengah bayang-bayang ‘Idem’

0 komentar:

  © Blogger template Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP