Pembaharuan “al-Azhar” Mazhab Indonesia

>> Sabtu, Agustus 30, 2008

Pada kita, sejarah pernah bercerita tentang sosok wazir Malik Syah –pendiri Madrasah Nizamiyah- dan pengaruh kuatnya. Sejak awalnya, madrasah ini memiliki manajemen yang sangat rapi. Para pelajar lalu-lalang menuntut ilmu di madrasah tersebut. Bilangan mereka sangatlah banyak. Konon, jumlahnya mencapai 6000 orang. Yang istimewa, Nizamiyah telah menetapkan sistem penerimaan murid baru, ujian kenaikan kelas dan ujian kelulusan.


Kini, kisah sukses Madrasah Nizamiyah seperti menjelma kembali pada cerita kesuksesan Korea Selatan dan India. Dua negara ini layak memperoleh apresiasi lantaran dukungan kuat pemerintahannya terhadap infrastruktur pendidikan. Korea Selatan, sebagaimana penjelasan Organization for Economic Cooperation and Development mengalokasikan 7,1 persen dari gross domestic product-nya untuk kebutuhan pendidikan rakyatnya. Dan nominal tersebut berhasil mengantarkan Korea Selatan sebagai negara terunggul dalam investasi pendidikan.

Berbekal dana pendidikan yang cukup besar, Korea Selatan berhasil menggoncang dunia. Jika ditilik, pada tahun 2007, persentase populasi kelulusan dari perguruan tinggi di Korea beranjak posisinya dari urutan ke-17 ke posisi ke-3. Untuk kategori proporsi penduduk ideal dalam pendidikan, Korea berhasil mengalahkan 24 negara lain yang juga berperingkat. Utamanya, untuk taraf usia 45 sampai 54 tahun, 49 persen warganya mengenyam pendidikan SLTA.

Di belahan Selatan, India pun tak mau kalah. Kepedulian India pada anak negerinya yang tengah belajar di luar negeri patut diacungi jempol. Artikel Yale Global Online menyebutkan bahwa India mengalokasikan dana sebesar 3 miliar dollar AS untuk memfasilitasi kebutuhan belajar. Dari segi pendidikan dalam negeri, walau memiliki kualitas fisik, bangunan, dan infrastruktur yang relatif sederhana, India memiliki mutu pendidikan bertaraf internasional.

Ketiga sample di atas, sesungguhnya memberikan satu kesimpulan menarik bahwa otoritas pemerintah sebagai pemegang kekuasaan mempunyai pengaruh mendalam bagi bidang pendidikan. Ini bermakna bahwa kebijakan sang penguasa yang berpihak pada dunia pendidikan akan menjadikan pelaku dunia pendidikan berkonsentrasi penuh. Dunia pendidikan akan berjalan sesuai dengan harapan.

Sebuah niatan serupa, beberapa waktu ini, nampak jelas dalam kebijakan KBRI dengan gawe besar bernama lokakarya. Semangat membuncah itu dimaksudkan sebagai salah satu upaya mengupas habis problematika studi Masisir seraya memberikan serangkaian tawaran solusi. Bila demikian, apresiasi yang besar layak kita atributkan pada KBRI tentunya. Walau dengan harap-harap cemas, semoga kelak lokakarya tersebut mampu memberikan warna terbaru bagi proses akademik kita.

Sekalipun mulia, sayangnya, ada satu hal tak sepele yang ‘belum sempat’ diperhatikan KBRI. Al-Azhar bukan milik Indonesia. Dia adalah mutiara sungai Nil sekaligus karya monumental anak negeri Musa. Kita tentu tak bisa gegabah begitu larut turut serta dalam permasalahan di seputarnya. Dia masih memiliki pemerintahan sendiri. Juga kewenangan dan karakteristik. Sebelum daya dianggap kesia-siaan, kita harus paham bahwa semua itu pada akhirnya adalah tawaran semata.

Kita semua sadar, al-Azhar sebagai pemegang tampuk pendidikan pelajar dan mahasiswanya memang perlu mulai menata diri. Sekalipun perkembangan al-Azhar tiap tahun terlihat cukup memuaskan, seperti nampak dari banyaknya dana yang disalurkan, berdirinya bangunan sekolah dan universitas baru, namun faktor-faktor ini tak kunjung mampu mengantarkan al-Azhar pada titik sukses yang diharapkan.

Al-Azhar mungkin tengah di persimpangan. Terlebih, dewasa ini, corak ragam konsep lembaga pendidikan banyak ditawarkan. Al-Azhar sedang berhadapan dengan dinamika dunia pendidikan yang semakin tak tentu arah. Pelbagai iklim persaingan antar lembaga pendidikan kian tak tertahankan. Fenomena-fenomena eksternal itu sudah seharusnya menyulut al-Azhar untuk segera menentukan orientasi studi yang jelas dan tak gamang.

Laiknya institusi pendidikan lain, al-Azhar perlu mengentaskan dirinya dari “kemiskinan” tujuan pendidikan. Al-Azhar tak boleh lagi disalahprasangkai. Seperti anggapan sebagian kalangan bahwa lulusan al-Azhar berpotensi menjadi kiai. Komunitas lain tak kalah seru berpendapat. Bagi mereka, al-Azhar cukup membekali alumninya agar mampu menjadi muslim yang berkepribadian.

Dalam kata lain, al-Azhar harus mau membuka diri pada perubahan. Dulu, konsep progresif bagi al-Azhar sudah muali disuguhkan. Muhammad Abduh mengawalinya dengan upaya modernisasi kurikulum pendidikan. Dari jenjang Madrasah Ibtidaiyah hingga Universitas. Konsep perubahan juga pernah ditawarkan Hamdi Zaqzuq. Sayang, tak mempan. Tetap saja Al-Azhar mati suri. Belum lagi kebijakan politik pemerintah Mesir yang kerap berseberangan menghantam stake holders al-Azhar.

Dan al-Azhar kian kedodoran. Padahal, di masa silam, ketenaran al-Azhar demikian meraja. Sejarah al-Azhar bersaksi bahwa para penguasa Mesir berupaya keras bertanggungjawab pada pendanaan al-Azhar. Dari khalifah, pejabat hingga kaum bangsawan. Input berupa wakaf yang diberikan –pada masa lalu- berhasil menghasilkan output yang luar biasa. Banyak ulama besar hasil didikan al-Azhar malang melintang di ranah keilmuan Islam. Seperti Ibnu Khaldun, al-Farisi, al-Suyuthi, al-‘Aini, al-Khawi, al-Maqrizi dan lain-lain.

Tragisnya, kini, generasi muda yang mengecap bangku al-Azhar mengalami kegamangan. Mereka tak mampu meneladani cerita keemasan al-Azhar. Juga ada kesenjangan komunikasi di sini. Akhirnya, anak didik al-Azhar tak kuasa sepenuhnya menentukan cita-cita. Kevakuman orientasi al-Azhar dan ketiadaan komunikasi yang sehatlah beberapa di antara sebab kemunduran tersebut. Berpijak dari sini, al-Azhar harus didorong untuk mempertegas orientasi pendidikannya.

Bila dipahami, lokakarya merupakan propaganda akademik. Di dalamnya, pejabat selayaknya juga menyoal kevakuman orientasi tersebut. Agar nanti lokakarya mampu serupa korek api. Bisa menyalakan semangat, sekalipun belum tentu abadi. Dia seolah lidi. Tak berdaya guna jika tak berbentuk sapu. Perlu ratusan bahkan ribuan propaganda dari berbagai pihak. Baik negara asal anak didik al-Azhar, otoritas kekuasaan, masyarakat Mesir. Bahkan umat Islam sekalipun.

Yang jelas, propaganda akademik semacam ini perlu diadakan secara terpadu dan serentak. Dimulai dari bawah sampai atas untuk menyerap aspirasi sekaligus koreksi. Dan semoga al-Azhar segera bangkit setelah sekian lama tak siuman.

0 komentar:

  © Blogger template Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP