Perempuan di Tengah Arus Budaya

>> Kamis, Agustus 21, 2008

Makin marak saja ambisi persaingan manusia menguasai. Semuanya tak mau lapuk dalam menghadapi arus globalisasi. Berbagai produk terbaru ditawarkan, berbagai riset dilakukan, dan inovasi dihasilkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Jumlahnya pun tak sedikit. Tak hanya itu, ketenaran ditebarkan, kualitas ditingkatkan, dan laba tinggi diharapkan. Satu dan lainnya berpacu, berkarya, dan berusaha menarik simpati masyarakat demi tercapai arah tujuan.


Persaingan yang membuncah tersebut bersumber dari dua kutub budaya, Barat dan Timur. Kesemuanya saling menghantam, menuntut, melainkan juga memiliki perbedaan yang vulgar. Tak dapat dipungkiri kedua kutub tersebut tak bisa menyatu atau mungkin tak ikhlas bila disatukan. Salah satunya menuntut perubahan progresif yang cenderung terlepas dari kodrat kemanusiaan. Kutub lain tak mau berpangku tangan. Mereka menghendaki keterbatasan bersikap hingga tiap permasalahan hanya bisa diselesaikan sekedarnya saja.

Arus globalisasi tersebut pada dasarnya tak hanya menghendaki kaum pria menjadi agen dan pewaris perubahan. Perempuan pun demikian. Yang demikian, sulit dipercaya bahwa di tengah era yang menuntut perubahan ekstra cepat, perempuan dituntut untuk stagnan dalam menghadapi ritme kehidupan. Dengan semakin banyaknya komunitas perempuan dibanding komunitas laki-laki, justru perempuan semakin dituntut untuk menjadi agent of change.

Sayangnya, selama ini perempuan banyak dituntut untuk menjadi objek perubahan budaya. Dari model pakaian, majalah perempuan, aksesoris-aksesoris, dan produk-produk perusahaan berupaya keras melirik konsumen perempuan. Hal ini didukung dengan stereotip bahwa perempuan memiliki watak konsumtif dibanding kaum Adam. Sebaliknya, fenomena-fenomena tersebut jarang terjadi pada laki-laki yang secara lahiriyah tak sepenuhnya memiliki kebutuhan yang sama dengan kaum Hawa.

Pihak yang menuntut stigma ngobyek perempuan tersebut bukanlah harga mati untuk rela menghadapi tantangan perubahan. Arus oposisi antara Barat dan Timur hendaknya berhasil ditengahi dengan lebih bijak hingga tiap iklim alterasi dihadapi dengan luwes namun sarat akan nilai Islam.

Semisal pada pentas budaya yang merupakan bagian dari pola kehidupan masyarakat, perempuan diiming-imingi berbagai kekayaan budaya Barat. Percepatan budaya yang terjadi anehnya diterima oleh kaum perempuan dengan apa adanya tanpa menentukan pilihan tepat. Di lain sisi, mereka terjepit. Posisi masyarakat juga menuntut mereka mempertahankan identitas kehormatan mereka. Sayangnya, mereka lebih asyik mencederai dan menyisihkan penyematan kehormatan tersebut.

Perempuan dan Produk Kedua Kutub Budaya

Tulisan ini tak berkehendak mengajak kaum perempuan untuk menerima tradisi lama yang sejatinya dijadikan pedoman atau mengarahkan mereka untuk menerima arus alterasi progresif dengan sedemikian mudahnya. Karena kedua kutub budaya tersebut tak diragukan lagi sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kedua belah pihak mengklaim kebenarannya masing-masing. Yang demikian tak harus dihadapi dengan menentukan pilihan pada salah satu kutub saja tanpa merespon eksistensi kutub lain. Terlebih lagi apabila pada saat yang sama, di tubuh Islam muncul tuntutan untuk menyamakan pola kehidupan pada era Nabi.

Menyamaratakan pola kehidupan termasuk budaya segendang sepenarian dengan iklim Nabi tak sepenuhnya patut dipersalahkan. Kemudian daripada itu, merespon budaya Barat yang sarat akan bebas nilai tak harus diterima dengan apa adanya. Kesemuanya sejatinya dipadu-padankan dengan berpedoman pada nilai-nilai yang disepakati hukum kodrati seorang perempuan.

Tutur kata Asep Ganda Sadikin, salah seorang praktisi dunia pendidikan “Hidup yang baik dan sukses adalah hidup yang sesuai dengan proses alam,” sepertinya menarik diperbincangkan. Opini beliau seolah hendak memisahkan pola kehidupan kita dengan pola kehidupan para pendahulu. Bagi penulis, bukanlah demikian. Beliau mengajak kita menerima perubahan dengan tak memalingkan kita mempertahankan karya pendahulu. Tak pelak, kita adalah anak didik para pendahulu. Mungkin istilah tepatnya ‘mengkondisikan diri’ dalam kancah kehidupan.

Selayaknya, perempuan -muslimah khususnya- mengkondisikan diri dalam menghadapi pentas budaya yang semakin demikian menggila. Tak hanya menyesuaikan diri. Mengkondisikan berarti menerima budaya modern dengan tetap elegan mempertahankan identitas diri. Mengkondisikan pun tak berkehendak hanyut akan gelora cinta stagnasi masa lalu. Dia terlebih adalah konsep keluwesan hidup sukses.

Kondusif dalam menjalani kehidupan senafas dengan ajaran Islam yang menuntut perempuan mempertahankan kehormatan. Juga tak bermaksud mencerabut hak mereka dalam menerima perubahan budaya. Ramdhân Al-Bûthî dalam bukunya Fiqh al-Sîrah al-Nabawiyyah menjelaskan bahwa Nabi tak hendak melarang kita menerima produk Barat dengan berasumsi keseluruhan karya mereka salah. Akan tetapi Nabi menuntut umatnya untuk mampu berkreatifitas dengan orisinil sehingga setiap perubahan sarat dengan nilai Islam. Decak kagum pun akan disematkan pada kita apabila kreatifitas umatnya itu juga memiliki kualitas tinggi.

Menghadapi kedua kutub perbedaan budaya tersebut sebenarnya bukanlah permasalahan signifikan. Toh kita menjalani kehidupan kerap tak mampu lepas dari virus kontroversi dan iklim persaingan. Pada situasional tertentu misalnya, kedua hal tersebut akan menjadi kasus bila disematkan pada problematika tiap personal. Masing-masing kerap tak berkutik seketika menghadapinya. Lebih apologetik lagi bila tiap personal mengalami self defeating atau tindakan bunuh diri terhadap realita kehidupan.

Beberapa tindakan prefentif perlu segera diberikan. Salah satunya dapat ditempuh dengan senantiasa mengajak mereka untuk berani dalam menghadapi tantangan dan siap menjadi pemenang. Karena pada dasarnya mereka layak menjadi pemenang dan sikap menerima kegagalanlah pihak yang patut dikalahkan.

Yang perlu diperhatikan pula, perempuan tak dilahirkan untuk nrimo pelbagai benturan yang mencelakainya atau keberuntungan yang menyengarainya. Mereka juga memiliki hak memilih seperti kaum laki-laki. Hak memilih tersebut tak hanya menguntungkan mereka, melainkan juga menjadi salah satu cara efektif dalam rangka memberikan sumbangsih perkembangan masyarakat. Di sini perempuan dituntut untuk mampu memilih dan memilah sehingga tak terjerembab dalam benturan kedua kutub budaya tersebut.

Perlu diingat, perempuan adalah lakon utama pendidik keluarga. Dia juga merupakan tiang bangsa. Demikian animo masyarakat yang sampai pada penulis. Pada taraf seperti ini mereka diharapkan untuk mengkondisikan diri terhadap berbagai perubahan, mempertahankan ikon etika yang tersematkan, menggali potensi, dan menciptakan alternatif sehingga terwujud insan dinamis yang mampu menghadapi perkembangan zaman. Demikian.

0 komentar:

  © Blogger template Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP