Merajut Titian Pendidikan Islam
>> Kamis, Agustus 21, 2008
Selamat datang di jagat peradaban! Kali ini, saya akan mengajak Anda berkeliling melanglang buana. Membuka cakrawala seputar pendidikan Islam era klasik sebagai salah satu cara menunjukkan pada dunia bahwa Islam sangatlah kaya. Kaya akan peradabannya yang maha megah di masa lalu. Tersusun atas ragam sistematika yang cantik, pendidikan Islam mampu melahirkan kontributor-kontributor peradaban di pelbagai ranah pendidikan. Tak hanya pendidikan Islam. Namun juga ranah ilmu pengetahuan umum. Lantas, bagaimana dengan kita, generasi muda Islam yang sudah saatnya menjadi motor penggerak masa depan? Akankah kita berpangku tangan?
Membaca Sejarah Pendidikan Islam
Adalah Rasulullah yang mulanya mengawali dakwahnya di rumah salah seorang Sahabat bernama Arqam ibn Abi al-Arqam. Literatur sejarah yang bertebaran lebih mengenal rumah tersebut sebagai Dâr al-Arqâm.
Pasca hijrah ke Madinah, dakwah Nabi kian tak tertahankan. Tak hanya masjid Nabawi yang menjadi kiblat keberlangsungan pendidikan. Varian model dan sistemnya pun beragam. Yang terpopuler adalah sistem halaqah. Dalam momen halaqah, Nabi menggunakan metode tanya jawab, kaedah kuliah, perdebatan, perbincangan, dan hafalan.
Syahdan, seperti ujaran sejarah, Nabi memfungsikan salah satu ruangan masjid Nabawi sebagai tempat menyantuni fakir miskin. Pun berguna untuk tempat tinggal para pemuda yang berhasrat memperluas wawasannya. Umat Islam menyebut tempat ini sebagai Suffah. Konon, menurut Ibnu Taymiyyah, para Sahabat yang mendiami Suffah sebanyak 400 orang.
Sepeninggal Nabi, para Sahabat bahu-membahu mengikuti jejak beliau dalam berdakwah. Tak sekadar mengikuti, para Sahabat juga menumbuhkan inovasi metode pembelajaran baru. Mereka mendirikan Kuttâb yang diperuntukkan bagi usia kanak-kanak. Hingga pada saat mereka menginjak dewasa, anak-anak tersebut dapat mengikuti halaqah di masjid dan berbaur dengan masyarakat umum.
Sampai masa dinasti Umayyah berkuasa, institusi pendidikan telah berhasil menyentuh kalangan istana dan rumah-rumah penduduk. Dalam rentang waktu tak terpaut jauh, di belahan timur, berdiri madrasah Islam pertama yang bernama madrasah Bayhaqiyah di kawasan Naysabur. Dan lantas, semangat menggebu dalam menggagas pendidikan yang rapi bak bersambut melintas tapal batas.
Beralih ke Spanyol, semasa khalifah al-Hakam al-Umawy, salah seorang khalifah Bani Umayyah berkuasa, Universitas Cordova berdiri. Layaknya madrasah Nizamiyah, universitas ini juga memiliki perpustakaan besar dengan koleksi empat juta buku. Materi-materi yang diajarkan pun sangat beragam. Tak sekedar menyentuh aspek religi. Di masanya pula, karya-karya ilmiah dan filosofis dari Timur ditransfer ke perpustakaan tersebut dalam bilangan yang sangat besar. Kelak, usaha yang dilakukan ini mampu menelurkan filosof-filosof besar sepanjang sejarah.
Keruntuhan dinasti Umayyah mengantarkan dinasti Abbasiyyah dalam pentas politik kekuasaan. Semasa Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun bertakhta, dinasti ini mendulang kesuksesan dalam bidang ilmu dan pendidikan. Banyak madrasah berdiri di Baghdad, Madinah, Kufah, dan Kairo. Dari tingkat dasar, menengah, hingga atas. Puncaknya adalah keberadaan Bayt al-Hikmah. Sebuah penanda bagi kesuksesan aspek pendidikan dinasti Abbasiyah. Di tangan khalifah al-Ma’mun, lembaga tersebut berfungsi sebagai perguruan tinggi, perpustakaan, dan lembaga penelitian. Konon, perpustakaan Bayt al-Hikmah memiliki koleksi ribuan judul ilmu pengetahuan dan didukung dengan berbagai fasilitas yang sangat memadai.
Dalam paparan pelbagai literatur, Nizam al-Mulk, wazir Malik Syah yang berkuasa di Baghdad (1066/1067 M.) terpantik hasratnya guna mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Hasrat luhur tersebut tertunaikan dengan keberadaan Madrasah Nizamiyah yang konon memiliki murid hingga 6000 orang. Satu madrasah yang terbangun atas keteraturan konsep dan metode. Madrasah yang lebih dari sekadar pantas dinobatkan sebagai penyulut kesadaran atas kerapian dalam prosesi pendidikan. Beberapa sistemnya, seperti penerimaan murid baru, ujian kenaikan kelas, bahkan ujian kelulusan, kelak diterapkan secara massal. Yang menakjubkan, madrasah tersebut memiliki perpustakaan besar yang berisikan 6000 judul buku dengan katalogisasi sistematis. Tak ayal, banyak sejarawan menahbiskannya sebagai perguruan Islam modern pertama.
Di belahan lain, abad ke-10, khalifah Mu’iz Li Dinillah Ma’ad ibn al-Manshur, khalifah keempat dinasti Fathimiyah menguasai Mesir. Dia mendirikan sebuah masjid yang belakangan mendapat predikat sebagai ‘masjid dan institusi pendidikan tertua’. Kita mengenalnya sekarang sebagai masjid al-Azhar. Sejak berdirinya, masjid dan universitas ini berhasil melahirkan ulama-ulama muslim terkenal dunia seperti, Yusuf al-Qardlawy, Wahbah Zuhayli, Muhammad al-Ghazali dan lain sebagainya. Termasuk juga anak negeri kita.
Ada pembelajaran menarik dari al-Azhar. Pihak penguasa, khalifah, tak lalai memperhatikan pendanaan bagi keberlangsungan al-Azhar. Bermula dari khalifah al-Hakim ibn Amrillah, keikhlasan para khalifah dalam memberikan wakaf bagi al-Azhar lantas diteladani kalangan pejabat dan bangsawan. Budaya wakaf itu berlangsung hingga kini. Dalam sebuah versi, kekayaan al-Azhar mencapai sepertiga kekayaan Mesir. Kini, wakaf tersebut selain untuk biaya operasional al-Azhar, juga dialokasikan untuk beasiswa, asrama, dan pengiriman utusan al-Azhar ke pelbagai penjuru dunia.
Rifa’ah al-Thahtawi dan Kesetaraan Pendidikan
Seorang lulusan al-Azhar, Rifa’ah al-Thahtawi selepas menyelesaikan jenjang pendidikannya di Perancis menyeru para pemudi negaranya untuk menggali ilmu. Dia berkeyakinan bahwa perempuan memiliki hak belajar sebagaimana kaum laki-laki. Ini tercermin pada tradisi era Nabi, di mana perempuan banyak memberikan kontribusi besar dalam pengumpulan hadis. Sayangnya, semenjak dinasti bani Umayyah berkuasa, cendekiawati pasca Aisyah tak lagi bergaung dalam percaturan keilmuan.
Menurutnya, salah satu cara yang mesti ditempuh dalam mensukseskan seruannya ini adalah dengan menambah batas usia menikah bagi perempuan. Dengan ini kaum perempuan dapat sepenuhnya fokus mengeksplorasi khazanah keilmuan dan siap sedia dalam mendidik anak generasi bangsa. Yang menarik, di balik semangatnya yang berkobar dalam menyeru urgensitas pendidikan bagi kaum perempuan, Rifa’ah tak lalai untuk mengingatkan bahwa perempuan memiliki sifat khusus yaitu rasa malu.
Baginya, rasa malu merupakan sifat terpuji seorang perempuan. Sepantasnyalah bagi pendidik kaum perempuan untuk tetap membiarkan perempuan mempertahankan rasa malu tersebut. Yang terpenting, pendidikan untuk mereka tidak dihapuskan. Apapun fitrah yang mereka miliki, baik rasa malu, takut, dan segan seyogyanya tak tercerabut dari perempuan. Pendidikan tak seharusnya memunculkan keberanian perempuan untuk melebihi batas fitrahnya.
Inspirasi Capaian Sejarah
Gagasan mulia al-Thahthawi itu yang kelak menggelorakan semangat al-Afghani dan Abduh untuk tak penat mengusung cita mulia. Satu hasrat untuk menggenapkan kebangkitan Islam dengan keberadaan pendidikan yang bermartabat. Dengan kisah sukses peradaban muslim masa silam sebagai inspirasi, kita tak diharapkan sekadar mencerapnya tanpa mampu berinovasi. Sudah selayaknya, kita memiliki institusi pendidikan yang mampu melakukan lompatan-lompatan sejarah, atau berproses demi menjalankan amanat kehidupan.
Inspirasi pertama, filosofi kota Madinah. Madinah identik dengan jiwa Nabi yang menyimpan memori masa lalu dengan segenap keikhlasan Nabi dalam dakwahnya. Kini, di sana kita banyak menyaksikan ulama-ulama yang handal dan hafal akan hadis Rasulullah. Tentunya, ruh-ruh nabawi yang terdapat di Madinah sudah selayaknya kita “kargo” ke tanah air. Dengan penuh harap, kita akan menyaksikan lembaga pendidikan yang berakhlak dan berwibawa. Semangat cinta ilmu Nabi juga dicerminkan dengan apa yang telah dilakukan Rifa’ah al-Thahthawi dalam menumbuhkembangkan cendekiawati-cendekiawati Islam yang handal masa kini.
Inspirasi kedua, filosofi kota Kairo. Semangat kedermawanan al-Azhar yang melekat kuat memantulkan satu keinginan untuk menggapai pendidikan demi mencapai insan kamil, ilmi, tarbawi, dan qur’ani. Hal itu akan tercapai bila warna pendidikan Islam tak tercoreng paham materialisme dan kapitalisme. Terlebih iklim pendidikan Islam harus menempuh jalan keikhlasan dalam berjuang yang yang termanifestasikan dengan terjaminnya prinsip dasar wakaf suatu lembaga pendidikan.
Inspirasi ketiga, filosofi kota Cordova. Kepiawaian Cordova dalam memberikan stimulan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada Eropa. Cordova pula yang membentangkan jalan lurus pencerahan Eropa yang tak enggan merangkul peradaban Islam, khususnya filsafat. Ajaran-ajaran Ibnu Rusyd tentang filsafat Aristoteles –misalnya- mampu membangunkan Eropa dari mimpi buruk selama ratusan tahun. Sayang seribu sayang, setelah abai pada ajaran dan gagasan Ibnu Rusyd, justru umat Islam tenggelam. Tak lagi muncul ke permukaan lautan keilmuan dunia.
Inspirasi keempat, filosofi kota Baghdad. Baghdad dengan Bait al-Hikmah-nya merupakan simbol kejayaan pendidikan Islam pada masanya. Hal ini kian meneguhkan satu fakta buat kita, bahwa umat Islam mampu menjadi raksasa pengemban amanat kehidupan melalui duplikat-duplikat Bait al-Hikmah yang senantiasa kita harap-harap cemas keberadaannya.
Inspirasi kelima, filosofi negeri para Mullah, Iran. Sebagaimana buku Ibnu Rushd dan Averoism berujar, negeri ini selain berhasil menghidupkan tradisi keilmuan Yunani, juga berhasil mengembangkannya. Dan melaluinya, inovasi keilmuan terus berkesinambungan hingga mencapai penemuan-penemuan baru. Bahkan hingga kini, Iran selain memiliki suasana religius yang kental, juga berhasil menelurkan ilmuwan-ilmuwan handal di pelbagai bidang. Lantas, kalau pada masanya, mereka mampu mengembangkan tradisi keilmuan tersebut, mengapa umat Islam tidak? Kini, saatnya kita bangkit![]
0 komentar:
Posting Komentar