Mengenal Corak Ragam Sekulerisme, Moderat Dan Konservatif Di Timur Tengah

>> Kamis, Agustus 21, 2008

"Langgengnya sebuah peradaban harus ditopang dengan pemerintahan yang kuat dan solid"
(Ibnu Khaldun)[1]

Prolog

Simpang siur identitas Islam bergejolak dan tak pernah usai. Pada tiap masa, berbagai tuntutan pembaharuan selalu berganti dan menuntut adanya solusi terbaru. Di samping itu, agenda pembaharuan mengalami penolakan keras dari pihak yang menuntut pemertahanan suatu tradisi. Pada akhirnya, berbagai teori solutif pun diketengahkan namun tak satu pun yang mampu mencapai aplikasi dahsyat suatu penyelesaian.


Pada pembaharuan sistem pemerintahan misalnya, berbagai perubahan dahsyat banyak diambil namun juga banyak ditinggalkan. Ketika sekulerisme ditegakkan dan membabi buta terhadap suatu sistem pemerintahan, ternyata masih terdapat masyarakat yang sangat antusias mempertahankan iklim peradaban Islam yang sudah ada jauh sebelumnya. Sehingga, sistem pemerintahan sekuler sedikit demi sedikit pun semakin kurang diminati dan berusaha mengalihkan pandangannya pada corak sekuler nuansa Islami walau banyak pihak yang justru menganggap sekuler tetaplah saja warisan budaya Barat tanpa embel embel Islami di balik tabirnya.

Di lain pihak, banyak juga masyarakat yang masih saja turut mengelaborasi sistem pemerintahan konservatif yang kerasan dengan iklim stagnan. Seiring perubahan zaman, pihak pesaing yang enggan terkungkung dengan tradisi berusaha memberikan warna baru demi adanya pencerahan di suatu ekosistem masyarakat. Sehingga lahirlah masyarakat madani yang mampu mengkolaborasikan tradisi dan era globalisasi demi tercapainya kemajuan bangsa di berbagai detak jantung kehidupannya.

Pun perlu disadari bahwa Islam sebagai agama mulia memiliki berbagai metode pengembangan masyarakat. Karena pada dasarnya Islam datang bukan untuk dijadikan negara akan tetapi Islam datang untuk mengadakan perubahan ritme kehidupan yang sarat akan nilai kemanusiaan, kebebasan dan persaudaraan. Dan sistem pemerintahanlah yang merupakan seni Islam dalam mengakomodir perkembangan Islam rahmatan li al-'âlamîn.

Anjungan Masyarakat Sekuler Timur Tengah

1. Miniatur Turki

a. Ideologi yang berkembang di Turki setelah runtuhnya Turki Usmani

Pada masa-masa keruntuhan dinasti Turki Usmani terdapat persaingan tiga ideologi yaitu, Islam, Usmaniyah, dan Turki. Dalam kaitannya dengan ideologi Islam misalnya, Turki sangat memegang teguh hukum Islam hanya saja sebagai hukum tradisi di tubuh Turki sendiri padahal negara-negara Islam klasik menjadikan hukum Islam sebagai hukum aplikatif dari suatu sistem kenegaraan.

Ketika kaum muslimin Turki Usmani memperhatikan kaum Prosia dan Serdenia mampu menyatukan dua bangsa Italia dan Jerman pada abad 19, mereka berusaha pula menyatukan kaum muslimin. Adapun prototype penyatuan Islam yang diterapkan bukanlah prototype penyatuan bangsa Turki. Hal ini dilakukan demi tercapainya negara Islam terbesar sepanjang sejarah yang memperhatikan persatuan Islam. Berarti, kaedah dasar pemersatu Islam dilakukan dengan asas Islam. Sedangkan alat hegemoni Islam atas non-muslim ditempuh dengan mengadakan sistem monarki. Karena muslim Turki menganggap bahwa satu-satunya jalan menguasai kaum non-muslim hanyalah dengan membentuk sistem monarki. [2]

Dalam berideologi Islam, dinasti Turki Usmani memiliki tujuan proyektif terhadap peninggalan Rasul yang berupa syariat dan menegakkan kalimah Allah seperti halnya penerapan pemberian tampuk kepemimpinan untuk kaum muslim saja. Akan tetapi apabila ada non-muslim yang memiliki kredibilitas dalam kepemimpinan, maka akan dipermudah hanya saja haruslah tetap menyadari bahwa Islam harus diprioritaskan.[3]

Ideologi Usmaniyah atau –dalam istilah lain- Usmanisme muncul lantaran revolusi liberalis pada abad 19. Paham ini mencuat di antara pembesar Turki Usmani dengan mengalihkan pandangannya kepada paham religi demi tercapainya persatuan Usmanisme. Namun, paham ini masih bersifat praduga yang belum dapat ditentukan benar atau tidaknya. Bisa jadi paham ini muncul di kalangan kaum muslimin, bisa jadi termasuk di dalamnya kaum kristiani yang mendapat kepercayaan dinasti Turki Usmani.[4]

Ada atau tidaknya paham ini, berakhir dengan munculnya paham baru yaitu paham Turkiyah atau disebut dengan Turkisme. Paham ini berhasil meniadakan usaha untuk kembali kepada sistem kerajaan Turki Usmani dengan runtuhnya dinasti Turki Usmani pada tahun 1923 dan khilafah Usmani pada tahun 1924.

Ideologi ketiga yang bersaing ketika itu adalah ideologi Turkisme yang banyak dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh ekstern terutama pengaruh bangsa-bangsa berbahasa Turki di kerajaan Rusia dan sebagian dari pembesar bangsa tersebut yang berniat politis untuk menguasai Turki.[5]

Bangsa Rusia yang berbahasa Turki tersebut ketika di Rusia mereka membentuk Pan Slovisme yang kegiatannya ketika pertama kali berdiri adalah menentang militer Saljuk dengan cara menerapkan ideologi Turkisme walaupun mereka sering menutupinya dengan Pan Slovisme. Usaha riil yang telah dilakukan oleh Pan Slovisme ini dapat terlihat dengan jatuhnya Turki Usmani pada tahun 1923 dan tumbuhnya rezim Musthafa Kamal Ataturk.

b. Munculnya Paham Sekuler

Paham sekuler dibawa oleh Mustafa Kamal Ataturk di Turki bertujuan untuk memberikan kemajuan pesat di berbagai aspek kehidupan. Usaha ini dilakukan sebagai proyeksi revolusi Perancis yang berhasil membentuk sistem negara sekuler tepatnya pada tahun 1902 di mana peran penting gereja dihapuskan dari sistem kenegaraan.[6]

Apabila kita berbicara tentang politik Ataturk, kita tidak akan lepas dari peran penting kepribadiannya. Hal ini di samping tampak ketika Ataturk mampu memposisikan diri antara Barat dan Timur juga karena latar belakang sejarah Turki Usmani yang menuntut diberdirikannya sistem pemerintahan sekuler. [7]

Terbukti dengan sistem sekulernya, Turki mampu menurunkan jumlah masyarakat buta huruf hingga 90 % dari 64 juta penduduknya. Di samping itu, kedekatannya dengan bangsa Barat banyak mengalami pertentangan dari etnis Kurdi sejak 1925 saat Kemal Ataturk berkuasa. Namun setiap pemberontakan-pemberontakan yang terjadi berhasil dipatahkan karena pemerintahan Ataturk menanggapinya dengan sangat represif.

Ataturk dalam melancarkan sistem sekulernya, berhasil mengganti penggunaan huruf Arab dengan Latin, melarang poligami dan wanita diberi hak yang sama dengan pria. Dengan proyek sekulerismenya itu, syariat Islam mengalami degradasi tajam. Seperti adanya pelarangan jilbab di sekolah-sekolah dan kewajiban mengubah adzan salat dengan bahasa Turki.

c. Turki pasca Erdogan

Sebagaimana dilansir beberapa situs, Turki pasca pemerintahan Erdogan berhasil memberikan warna baru bagi pemerintahan Turki. Erdogan dengan tipologi kepemimpinannya mampu menengahi antara ide-ide sekuler dan warna Islam. Usaha-usaha yang dilakukannya pun sangat signifikan. Dia mampu mengambil hati baik kaum menengah ke bawah maupun menengah ke atas. Bahkan usahanya tersebut juga mampu menarik Eropa untuk respek kepada Turki. Karena Turki pasca kepemimpinannya mampu memberikan pemahaman sekuler yang masih terdapat ruh-ruh Islam.

Anjungan Masyarakat Konservatif Timur Tengah

1. Miniatur Arab Saudi

Arab Saudi selalu mengaitkan sistem kenegaraannya dengan agama Islam. Karena di samping Arab Saudi memiliki keterkaitan dengan Islam lebih banyak dari negara mana pun di dunia Islam di Arab Saudi juga terdapat Mekah, Madinah dan kiblat kaum muslimin dalam melakukan ibadahnya. Pada tahun 1745, Muhammad Ibnu Abd al-Wahab mengadakan koalisi bersama Ali Saud salah seorang emir Dariyat di daerah sekitar Najd. Dan koalisi ini masih bertahan hingga sekarang.[8]

Islam sebagai agama bernegara dan tiang pokok penerapan syariat politis secara otomatis juga mengarahkan syariatnya untuk berpolitik, mengadakan berbagai pergerakan politik, dan menciptakan kaedah-kaedah dasar masyarakat berakhlak. Berdasar cara pandang Wahabi inilah, kerajaan dianggap sebagai rukun pokok madzab menurut mayoritas kaum Muslim.

Kerajaan Arab Saudi berdasarkan aturan perundang-undangan negaranya berusaha merubah keberadaannya sebagai negara berperadaban tinggi sehingga pada akhirnya Arab Saudi memperluas daerah kekuasaannya untuk menggabungkan berbagai daerah yang terpisah-pisah sebelumnya menjadi kaya akan hukum-hukum agama dan yayasan agama. Bahkan para ulama memegang peranan penting di administrasi negara dan undang-undang negara mampu menertibkan stabilitas aktivitas para ulama. Negara dengan hukum yang dibentuknya melalui sistem kerajaan tidak merelakan keberadaan kekuasaan agama lain bebas berdiri. Karena kekuasaan tersebut dianggap akan menyaingi kekuasaan Islam atas rakyat Arab Saudi.

Stereotip hukum Islam –pada kisah klasiknya- belum pernah memisahkan antara agama dan politik. Ketika Islam tidak memiliki aturan religi kependetaan yang mirip dengan aturan yang ada di gereja Kristen, maka pilihan muslimin jatuh pada metode kepemimpinan penguasa sepanjang masa. Seperti halnya yang ada pada sistem khilafah di mana khalifah menjabat sebagai amirul mukminin. Dan seiring dengan berjalannya waktu, mereka mewakili nabi yang telah meninggal mendahului mereka dan menyandarkan segala tampuk kepemimpinan untuk menegakkan kebenaran dan melancarkan jalannya hukum syariat yang sarat dengan nilai-nilai Islam.

Maka dari itu, negara ini menyandarkan kekuasaannya kepada civitas-civitas religi melalui yayasan-yayasan mereka yang kontiniu dalam menstabilkan ritme pemerintahan. Di samping itu, negara ini juga bersandar pada nilai-nilai agama demi memperkuat kekuasaannya dan menegakkan syariatnya. Pada dasarnya, berbagai persoalan memang menuntut adanya keterkaitan antara agama dan negara di Saudi Arabia. Hal ini disebabkan karena negara ini benar-benar merupakan salah satu kerajaan kecil yang masih berpegang teguh pada aturan sosio politis yang berasaskan pada kaedah-kaedah dan syi'ar-syi'ar taklid buta. Sehingga tataran rumah tangga kerajaan Saudi Arabia lebih membutuhkan keterkaitan dengan agama Islam dibandingkan negara-negara lain. Kerajaan ini pun dianggap sebagai madzhab para ushuliyin dengan menjadikan al-Qur'an sebagai aturan hukumnya dan syariat sebagai acuan perundang-undangan dan multidisipliner.[9]

Akan tetapi, setelah sekian lama bergelut dengan sistem kekhalifahan yang menjadi ikon pemerintahan dan didukung dengan adanya perang dunia pertama yang berhasil menumbangkan kekuasaan Turki Usmani, Islam menghadapi beberapa perubahan yang menghilangkan bentuk politis pra revolusi tersebut (khilafah Islamiyah) di mana menuntut mereka untuk menerima peradaban Barat yang terus menghegemoni dan memaksa kaum muslimin untuk menerima wacana sistem negara baru demi menjaga karakteristik dan nilai-nilai Islam dalam sistem bernegara.

a. Antara teori dan praktek

Apabila kita telaah bersama, teori aplikatif sistem pemerintahan Islam yang sarat dengan tradisi itu selalu bersandar atas kepentingan kekuasaan dalam Islam demi proyeksi syariat dan pelaksanaan hukum-hukumnya. Berawal dari wafatnya Nabi tanpa adanya kesepakatan dari beliau untuk memilih seorang khalifah menimbulkan tiga krisis yang mempengaruhi bentuk-bentuk taqlidi dari sistem khalifah. Yang pertama adalah perdebatan antara kaum muhajirin dan kaum anshar. Disusul yang kedua adalah penolakan beberapa kabilah atas peralihan kekuasaan setelah Nabi karena bagi mereka kekuasaan akan berakhir dengan wafatnya Nabi. Hal seperti ini mengakibatkan keinginan beberapa kebilah untuk merdeka. Dan hal yang ketiga adalah terjadinya pertikaian antara Ali, kerabatnya dan Muawiyah yang menjabat sebagai penguasa Syiria dan berakhir dengan dibunuhnya Ali pada tahun 661 M sehingga memperkeruh persatuan Islam.[10]

Dari sini dapat kita ketahui tujuan dasar berlakunya sistem tersebut adalah proyeksi syariat dan aplikasi kaedah-kaedah dasarnya yang dipraktekkan seiring dengan makin akrabnya istilah khalifah dan metode pemilihannya. Akan tetapi pada dasarnya tulisan ini lebih terfokus pada gambaran idealis suatu pemerintahan Islam dan keterpautannya dengan praktek yang selama ini telah terjadi di seputar kita.[11]

Usaha penyatuan sistem pemerintahan ideal dan praktek sebenarnya hanya berkisar antara dua hal yaitu menegakkan syariat dan mempertahankan sistem konsensus dalam hukum Islam. Maka proses pendayagunaan syariat dan prakteknya memerlukan adanya khalifah yang dipilih oleh umat demi stabilitas iklim negara dan lagi-lagi memang di sana diperlukan adanya ketaatan. Apabila khalifah mencemarkan kehormatannya dengan tindakan anarkis dan perintah syariat tidak dijalankan, maka keberadaan khalifah tersebut perlu ditinjau ulang. Inilah asas pokok dan teori idealnya. Akan tetapi, sayang seribu sayang, dalam prakteknya sistem khalifah berjalan secara turun temurun demi mempertahankan kekuasaan warisan leluhur dan hilangnya komponen-komponen pemerintah yang menegakkan syariat Islam sehingga terpecahlah negara-negara Islam itu sendiri.[12] Bahkan, modernisasi yang diterapkan telah menimbulkan kesenjangan antara kehidupan kota dengan penduduk pedalaman, golongan muda dengan kaum tua dan para ulama. Para wanita misalnya, meski di luar rumah mengenakan pakaian semacam jubah yang disebut abha, namun di dalam rumah mereka sudah mengenakan pakaian Barat. Mereka juga menggunakan berbagai produk kosmetik Barat serta menonton aneka tayangan televisi yang selama ini ditabukan.

b. Hubungan Wahabiyah dan Sistem Pemerintahan

Keberhasilan Ibnu Su'ud menguasai Riyadh merupakan titik tolak dimulainya iklim kerajaan Saudi Arabia modern. Demi mempertahankan kekuasaannya, Ibnu Su'ud tidak segan-segan menunggangi Wahabiyah sebagai kendaraan politisnya dengan menjadikannya bentuk ideal sebuah sistem kenegaraan. Bahkan, dia memberikan hak kepada kaum kerabatnya dalam menjabat beberapa jabatan penting di pemerintahan daerah secara turun temurun dan memanfaatkan mitos kemuliaannya dalam rangka mengukuhkan motif politis. Bahkan secara praktek, pemanfaatan agama dan berbagai lembaga-lembaga religi yang diusungnya itu tidak lain hanyalah demi memperkuat posisinya semata.[13]

Sistem khilafah yang dipraktekkan Saudi Arabia beralih kepada iklim pemerintahan yang sarat akan nilai sistem monarki dengan memberikan jabatan pemerintahan kepada kaum kerabat kerajaan tanpa adanya system khilafah yang diselenggarakan dengan proses pemilihan umum antar para sahabat.[14]

Ketika Ibnu Su'ud gencar memperbaiki proyek undang-undang pemerintahan dan mengelaborasi administrasi negaranya, banyak kalangan ulama yang menyeru untuk bertahan dari serangan berbagai perilaku produktif fenomena modernisme yang sengaja menggoyangkan power syariat Islam.

Sejatinya, sikap Ibnu Su'ud dan Wahabiyah dalam keterkaitannya dengan para ulama memberikan sinyal-sinyal penampakan motif politis dan pemaksaan produktifitas sosio historis. Dalam keterkaitannya dengan ulama misalnya, para ulama lebih senang memberikan berbagai kebijakan politis selama tidak melanggar hukum dasar Wahabiyah karena apabila hal tersebut telah bertentangan dengan Wahabiyah maka secara tidak langsung telah meniadakan syariat Islam. Karena itulah berbagai sarana yang dilancarkan membutuhkan keterkaitan ulama dengan masyarakat Arab Saudi.

Walaupun Wahabiyah sangat mempengaruhi iklim kehidupan rakyat Arab Saudi, akan tetapi dalam prakteknya Wahabiyah sering melakukan beberapa prosedur yang salah. Hal ini terjadi –misalnya- dalam mengagungkan warisan Nabi. Seperti dilansir Koran al-Fajr, Wahabiyah menyingkirkan peninggalan historis Rasul seperti rumah tempat dirinya dan Khadijah tinggal yang dijadikan sebagai saluran air dan tempat lahir beliau yang menjadi perpustakaan Mekah akan tetapi jarang dikunjungi dan kurang dikembangkan.[15]

Anjungan Masyarakat Moderat Timur Tengah

1. Miniatur Iran

Sejak awal berdirinya, Iran sudah melaksanakan politik luar negerinya. Dimulai pada masa rezim dinasti Pahlevi, disusul dengan rezim Khomeini hingga yang dilakukan oleh Ahmadinejad saat ini.

a. Pada Masa Dinasti Pahlevi (1925-1979)

Berdirinya dinasti Pahlevi sering dikaitkan dengan kondisi negara yang lemah karena adanya berbagai macam gerakan pemisahan diri setelah perang dunia pertama, salah satunya adalah yang meletus di Arabistan di mana perusahaan minyak Inggris Persia menunjukkan hasil eksploitatifnya sehingga dengan demikian berhasil memunculkan sosok Reza Khan Pahlevi[16] yang berhasil menciptakan keamanan dan mengukuhkan kedudukan Iran dengan cara kudeta selepas Perang Dunia I. Setelah berhasil menggulingkan kekuasaan Qajar, tahun 1925 Reza Khan Pahlevi mengangkat dirinya sebagai Raja Reza Pahlevi pada tahun 1925. Perubahan ini terjadi dengan bercermin pada revolusi yang digencarkan Kemal Ataturk di Turki.

Perubahan yang dilakukan Reza Pahlevi tidak hanya berkisar pada perubahan nama negara dari Persia menjadi negara Iran tetapi juga memperluas daerah kekuasaannya hingga dapat menguasai daerah tepi pantai kawasan teluk. Iklim seperti ini didukung atas berbagai usaha yang dilakukan negara-negara Arab pada saat itu untuk menjadikan kawasan Teluk, daerah-daerah yang dikuasai Moskad dan Oman, dan munculnya negara Arab kecil menjadi bagian dari kawasan Arab.[17]

Karena kerjasamanya dengan Nazi, menyebabkan sekutu yang selama ini mendukungnya, memaksanya turun tahta dan kedudukannya digantikan oleh putranya Muhammad Reza Pahlevi (1941-1979). Pada tahun 1960, ia gagas modernisasi dengan melakukan revolusi pendidikan wanita.

Bukti politik luar negerinya terjadi pada tahun 1963 di mana Iran mengadakan koalisi pertahanannya dengan negara Kuwait dan dan Arab Saudi yang bertujuan untuk menakut-nakuti ancaman Soviet dan gerakan kiri yang muncul di utara daerah Teluk.[18]

b. Pada masa rezim Ayatullah Khomeini

Hubungan konfederasi Iran Syah dan eksistensi zionis tampak mengalami perubahan besar seiring dengan ditutupnya kedutaan besar Israel di Iran. Di samping itu, perubahan tersebut mengarah pada iklim pembebasan Palestina yang salah satunya ditempuh dengan cara mengundang Arafat sebagai pembesar pertama yang mengunjungi Teheran. Bahkan, mereka berniat untuk memerdekakan al-Quds dan daerah-daerah yang telah dikuasai Israel. Akan tetapi yang sangat disayangkan adalah konfederasi yang timbul selepas revolusi Iran tersebut memicu peperangan antara Irak dan Iran. [19]

c. Politik Luar Negeri rezim Ahmadinejad

Terpilihnya Ahmadinejad menjadi presiden Iran merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan bagi Amerika Serikat. Mengingat, selama ini Ahmadinejad terkenal sangat kontra terhadap Amerika. Bukti konkret yang dilakukan Ahmadinejad adalah layang suratnya untuk Presiden George William Bush berkenaan dengan kebijakan politik anehnya selama ini khususnya dalam rangka menghegemoni Timur Tengah. Sikap kontra yang dilakukannya ini berhasil memposisikan Iran sebagai negara yang sangat berpengaruh di kawasan Timur Tengah. Tidak hanya itu, sang Presiden juga tidak segan-segan melakukan lobi ke berbagai negara Islam demi mensukseskan politik luar negerinya tersebut. [20]

Kritik dan Analisa terhadap Wacana Masyarakat Timur Tengah

Salah satu nilai normatif Islam adalah bahwasanya Islam adalah agama samawi yang sarat akan rahmatan li al-'âlamîn. Dengan demikian yang menjadi tujuan mendasar syiar Islam yang senantiasa didengungkan merupakan refleksi dari dakwah untuk menegakkan kebenaran seluruhnya bukan hanya mendengungkan syiar Islam bagi umat Islam atau dengan kata lain mendengungkan syiar Islam rahmatan li al-muslimîn.

Perlu kita renungi bersama bahwa kaum yang menghendaki politisasi Islam memandang bahwa Islam adalah negara padahal Islam pada dasarnya adalah suatu peradaban yang menyatu dan dibentuk oleh kesamaan cara pandang. Dan negara adalah salah satu seni dalam rangka mensukseskan dakwah Islam. Bahkan, dalam terma membentuk suatu peradaban Islam, Nabi mengusung nilai-nilai Islam yang tercermin pada akhlak dan ajaran-ajaran beliau yang tentunya memiliki nilai filosofis tersendiri.

Konsep kaum konservatif dalam aplikasi dakwah rahmatan li al-'âlamîn perlu ditinjau ulang:

1. Apabila yang diinginkan adalah rahmatan li al-'âlamîn dan proyek aplikasi awalnya adalah rahmatan li al-muslimîn merupakan salah satu solusi tepat demi tercapainya dakwah Islam. Akan tetapi alangkah baiknya apabila kedua metode tersebut (rahmatan li al-'âlamîn dan rahmatan li al-muslimîn) sejalan segendang sepenarian supaya dakwah Islam berjalan dengan lancar dan progresif.

2. Apabila yang diinginkan adalah rahmatan li al-muslimîn saja, berarti kaum tersebut lengah bahwa tujuan dakwah dalam artian sebenarnya adalah rahmatan li al-'âlamîn. Sehingga diperlukan adanya perbaikan-perbaikan kesalahan atas pemahaman esensi yang terkandung dalam suatu dakwah.

Demikian halnya yang terjadi pada masyarakat muslim yang menegakkan sistem sekuler. Selama ini terma sekuler berawal dari revolusi Perancis. Pada prakteknya, contohnya yang dilakukan pada rezim Kemal Ataturk, sekulerisme yang diterapkan banyak berkiblat pada Perancis sehingga kekuatan Islam yang pada saat itu mengalami degradasi tajam. Pada taraf seperti ini, perlu adanya penyadaran di berbagai pihak bahwa esensi dari kepemimpinan Nabi Muhammad bukan memisahkan antara agama dan negara akan tetapi Nabi Muhammad memberikan ruh-ruh Islami dalam menopang suatu negara.

Terbukti dengan terma sekuler yang dipadukan dengan ruh-ruh Islam, Turki mengalami perubahan yang signifikan dalam melaksanakan sistem kenegaraannya. Bahkan dengan terma yang diusungnya, Erdogan mampu mempengaruhi berbagai kalangan untuk dapat menerima kembali bahwa ruh-ruh Islam sangat erat kaitannya dengan sistem negara sekuler. Hal ini didukung dengan ideologi kepemimpinan Islam yang pada dasarnya memiliki dua norma yaitu permusyawaratan dan pertanggungjawaban. Pada sistem permusyawaratan misalnya, al-Qur'an telah menjadikan musyawarah sebagai salah satu aspek terpuji setaraf dengan keimanan dan tawakkal kepada Allah, meninggalkan dosa-dosa besar dan melaksanakan ibadah salat. Dalam konteks pelaksanaan pertanggungjawaban, pertanggungjawaban yang dilakukan adalah pertanggungjawaban seorang pemimpin kepada masyarakatnya bukan kepada penguasa. Maka, sudah selayaknya kita menerapkan Islam pada masa Rasulullah bukan Islam berideologi monarki.[21]

Pun demikian sistem negara sekuler bukanlah solusi terbaik dalam menentukan suatu sistem pemerintahan. Demikian halnya sistem konservatif yang sebagian negara mempraktekkannya dengan melaksanakan sistem monarki. Bahkan, perlu adanya nota kesepemahaman dari berbagai pihak bahwa konsep khilafah yang selama ini diterapkan oleh beberapa negara banyak yang menyalah-artikannya sebagai konsep monarki. Permasalahan ini sebenarnya berkisar atas tiga hal;

a. Tidak adanya keputusan pasti untuk menentukan khalifah.

b. Tidak adanya pembatasan waktu berakhirnya kepemimpinan khalifah.

c. Tidak adanya pembatasan kriteria khalifah.[22]

Epilog

Tampaknya demi mengusung nilai-nilai Islam yang terkandung dalam dua normatif di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa keduanya sudah cukup mewakili konsep negara demokrasi dan rasional. Bahkan, ide-ide sekuler yang selama ini banyak beredar di pemikiran Arab sudah selayaknya dijauhi dan menggantinya dengan sistem kenegaraan yang demokratis dan rasional sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Arab terhadap melaksanakan proses kenegaraannya.

Di tengah carut marutnya fenomena inilah, setiap pemimpin yang mengalami proses dilematis antara iklim pembaharuan dan pemertahanan tradisi lama diharapkan mampu bersikap moderat supaya tidak terkesan stagnan atau kebablasan sehingga terkesan tidak berhasil memilah dan memilih iklim pembaharuan yang sarat dengan norma Islam. Wallâhu a'lam bi al-Shawâb.

DAFTAR PUSTAKA

1. Saqr, As'ad, al-Syarq al-Awsath al-Hadîts, jilid 3
2. Al-Jâbirî, Muhammad 'Âbid, Wijhah al-Nadzor nahwa I'âdah Binâ' Qadhâyâ al-Fikr al-'Arabî al-Mu'âshir, Markaz Dirâsah al-Wihdah al-'Arabiyah, Beirut, 2004.
3. Al-Yâsinî, Aiman, al-Dîn wa al-Mamlakah al-'Arabiyah al-Su'ûdiyah.
4. Khaldun, Ibnu, Muqaddimah Ibn Khaldun, jilid 1, Maktabah al-Usrah, Kairo, 2006.
5. Lewis, Bernard, al-Islâm fî al-Târîkh, al-Afkâr wa al-Nâs wa al-Ahdâts fî al-Syarq al-Awsath, Madhat Thaha, al-Majlis al-A'lâ li al-Tsaqâfah, Kairo, 2003.
6. Al-Bâz, Muhammad, Jinâyat al-Wahâbiyîn 'alâ al-Rasûl al-A'dzam, Koran al-Fajr, edisi 119, tanggal 17 September 2007, Kairo.
7. Wulandari, Aprina Levy, Membongkar Skandar Nuklir Amerika-Israel, La Tansa, Edisi Syawwal 1427 H, Kairo.



[1] Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibni Khaldûn, jilid 1, Maktabah al-Usrah, Mesir, hal.

[2] Bernard Lewis, al-Islâm fî al-Târîkh al-Afkâr wa al-Nâs wa al-Ahdâts fî al-Syarq al-Awsath, Madhat Thaha, al-Majlis al-A'lâ li al-Tsaqâfah, Kairo, 2003, hal. 347.

[3] Ibid., hal. 348.

[4] Ibid., hal. 349.

[5] Ibid., hal. 350

[6] As'ad Saqr, al-Syarq al-Awsath al-Hadîts, jilid 3, hal. 16.

[7] Ibid., hal. 16.

[8] Aiman Al-Yasini, al-Dîn wa al-Mamlakah al-'Arabiyah al-Su'ûdiyah, hal. 1.

[9] Ibid, hal. 4.

[10] Ibid., hal. 5.

[11] Ibid.

[12] Ibid., hal. 83.

[13] Ibid., hal. 7.

[14] Muhammad 'Abid al-Jâbirî, Wijhah al-Nadzor Nahwa I'âdah Binâ' Qadlâyâ al-Fikr al-'Arabî al-Mu'âshir, Markaz Dirâsah al-Wihdah al-'Arabiyah, Beirut, hal. 87.

[15] Muhammad al-Bâz, Jinâyat al-Wahâbiyîn 'alâ al-Rasûl al-A'dzam, Koran al-Fajr, edisi 119, tanggal 17 September 2007, Kairo, hal. 1-2.

[16] Reza Khan Pahlevi adalah pendiri negara Iran Modern

[17] Muhammad Ali Hawat, Mafhûm al-Syarq Awsathiyah wa Ta'tsîruhâ 'alâ al-Amn al-Qaumî al-'Ârabi, Maktabah Madbouli, Kairo, 2002, hal. 239.

[18] Ibid., hal. 243.

[19] Ibid., hal. 254.

[20] Aprina Levy Wulandari, Membongkar Skandar Nuklir Amerika-Israel, La Tansa, Edisi Syawwal 1427 H, hal. 5-6.

[21] Muhammad 'Âbid al-Jâbirî, Op. Cit., hal. 93.

[22] Ibid., hal. 88-89.

0 komentar:

  © Blogger template Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP