Keteladanan Memelihara Lingkungan

>> Jumat, Agustus 22, 2008

Indonesiaku yang permai kaya akan etika dan estetika alam nan artistik dan damai. Indonesiaku yang permai menampilkan semburat warna-warni yang cerah, elegan, dan menawan hati. Sejauh mata memandang, Indonesiaku selalu menampakkan senyumnya. Redup dalam balutan mayapada biru yang membentang luas ke angkasa raya. Fenomena alamnya mampu menyihir pelancong asing untuk –sedikitnya- merenggangkan urat-urat nadi yang tegang.


Berbagai karunia Sang Khalik berwujud satu dan melestari di negeri ini. Negeri yang kaya akan puspa dan satwa. Melimpah dari bumi, udara dan lautnya. Hutan tropisnya memiliki lebih dari 70 persen jenis tumbuhan dan satwa. Ia juga pernah diketahui memiliki 515 jenis mamalia. Sebanyak 397 jenis burung sembaran terbang di langitnya. Lautnyapun dihiasi terumbu karang dengan berbagai macam ikan yang melimpah ruah.

Tetapi sayang seribu sayang, kekayaannya tiap hari kian terkuras, alamnya mulai tercemar, flora dan faunanya sedikit demi sedikit mulai punah. Negeri ini berkali-kali diberitakan seakan segera hancur. Segala pujian atas keindahannya tak terdengar lagi. Prestasinya di mata dunia lambat laun meluntur. Dunia meyakininya sebagai salah satu negara penyumbang kepunahan keanekaragaman hayati. PBB pun menyinggungnya sebagai negara terbesar keempat pembuang emisi gas rumah kaca (Greenhouse Gas/GHG) di dunia, tak kurang menyedihkannya, Indonesia telah dicurigai sebagai negara ketiga penyebab global warning saat ini.

Dunia kita akhir-akhir ini tengah disibukkan dengan perubahan iklim yang semakin tak menentu. Prakiraan cuaca semakin sulit diprediksikan. Tanda-tanda global warming ini telah begitu menakutkan. Tak pelak, kehidupan agraria Indonesia pun ikut terganggu, tetapi ironinya, di tengah kesulitan yang menimpa, negara ini malah rela dijadikan toilet karbon negara-negara maju.

Islam dan Keteladanan

Fenomena-fenomena miris di atas akan kontraproduktif jika dilihat dari kacamata apapun, khususnya perspektif agama. Agama dengan tegas mengecam segala bentuk perusakan, penyelewengan dan berlebihan. Islam sendiri sebagai agama dengan penganut terbanyak di negara ini jauh-jauh hari telah menegaskan kepeduliannya terhadap lingkungan dalam ayat-ayatnya. Salah satunya adalah perintah pada kaum muslimin agar bersikap proporsional terhadap apapun. Sebagaimana telah tertuang dalam al-Quran surat al-A’râf ayat 13: “Maka makanlah dan minumlah, dan jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka terhadap orang-orang yang suka berlebihan.” Di tengah keadaan serba paceklik seperti saat ini hendaknya seorang muslim senantiasa mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa.

Tidak berhenti sampai di sini, ayat lain yang senada dapat kita jumpai dalam surat al-Baqoroh ayat 195. Ayat ini mewanti-wanti kita agar tidak mempergunakan produk yang dapat merugikan: “…Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu kepada hal yang akan membinasakanmu…” Bahkan, al-Qur’an dengan lantang bersuara memperingati mereka para penebang kayu liar di hutan-hutan: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya…."(Qs. Al A’râf : 56)

Perintah memelihara lingkungan hidup turut digambarkan pula dalam sejarah perjalanan Nabi, yaitu bagaimana Rasulullah mewasiatkan pada pasukan perang Mu’tah untuk tidak menyakiti perempuan dan anak-anak, tidak melukai dan membunuh musuh yang sudah tak berdaya, tidak menebang pohon, merusak tanaman, membunuh binatang, dan menghancurkan bangunan.

Sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah mengatakan: “Saya bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah ajarkanlah aku sesuatu yang dengannya Allah SWT memberikan manfaat kepadaku!’ Rasulullah pun berkata, ‘Lihatlah terhadap apa yang mendatangkan bahaya bagi manusia, kemudian buanglah dari jalan mereka (yang membahayakan itu)’”.

Sampah, onak, dan duri yang ditemui di jalan tentu akan merugikan di kemudian hari, semangat hadis ini dapat terlihat jelas sebagai antisipasi menghindari kemudharatan. Nilai esensial perintah Nabi tersebut mengajak kita untuk menjaga ekosistem alam dan memeliharanya.

Demikianlah, dengan keteladanannya, agama dan sejarah kenabian berbicara tentang kepedulian lingkungan dan pentingnya menjaga ekosistem alam. Agama biasanya dijadikan sandaran terakhir bagi penyadaran diri manusia. Tak diragukan jika ajaran agama mengandung keteladanan tertinggi, para penyeru agamapun (Nabi) sudah tentu memiliki sifat-sifat mulia agar diikuti seluruh manusia. Para penganut agama seharusnya senantiasa berpegang teguh pada nilai suci keteladanan ajaran agamanya dan diharapkan mampu mengaktualisasikannya. Namun, harapan ini ternyata tidak berbanding lurus dengan kenyataan. Survey di lapangan banyak membuktikan jika nilai-nilai agama pun semakin dimarjinalkan.

Mencapai kesadaran memang bukan perkara mudah. Utamanya bangsa ini. Dengan banyaknya populasi muslim dan saling bermunculannya beragam kepercayaan tidak lantas berpengaruh besar pada kebiasaan buruk bangsa terhadap lingkungan. Berbagai penyuluhan, penghijauan dan konferensi hingga taraf internasional telah dilaksanakan. Tetapi tak banyak menghasilkan nilai positif pada kondisi alam bangsa. Tentu kita tak perlu mengkambinghitamkan orang lain, setiap pihak harus sama-sama berkaca pada dirinya masing-masing, kekeliruan dan kekurangan ini bukan milik perorangan, bukan karena sekelompok orang, atau karena kesalahan ajaran.

Setiap orang harus berani mengoreksi dirinya sendiri, berusaha menyadari pentingnya menjaga lingkungan dan melestarikan habitat alam, di samping tetap mentaati peraturan. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan hendaknya tidak hanya berpangku tangan dan berputar-putar dengan konsep kosong apalagi muluk-muluk. Bangsa ini menuntut pemecahan yang realistis, dan perbaikan segera.

Seorang pemimpin tentu dituntut memiliki sikap keteladanan, dan ini memang keharusan dari pekerjaannya. Keteladanan sejatinya harus berasal dari pemegang otoritas. Tanpanya, seorang pemimpin bakal jadi bahan cemoohan, tidak memiliki nilai tawar, dan hanya menunggu waktu diturunkan, maka tak heran jika rakyat hilang kepercayaan.

Seorang pendidik pun memiliki peran penting dalam mendidik diri dan lingkungannya, posisinya hampir mirip seperti tugas agama, apalagi hubungannya mempersiapkan generasi bangsa yang kompeten. Seorang pendidik hendaknya tidak hanya terpaku pada pencapaian target nominal siswa belaka, melainkan turut berperan aktif menggambarkan pada siswa how to manage the value of environment dan sekaligus menjadi contohnya. Agar keteladanan yang dicontohkan benar-benar melekat dalam benak tiap siswa.

Jika para pendidik, agamawan, pemimpin, dan semua orang di bumi ini memiliki kemauan menyadari pentingnya sebuah keteladanan dalam bersikap, maka segala masalah yang terjadi akan menemui perubahannya. Tidak, Indonesia masih belum hancur. Bangsa ini masih bisa diselamatkan. Dia –mungkin- masih terbius tak siuman. Potensinya masih belum habis, keindahannya bisa kembali terjaga, kekayaannya masih tersisa. Semua kemungkinan yang ada ini dapat dijadikan alat membangun kembali Indonesia, asalkan semua pihak memiliki komitmen pada perubahan.

Melaksanakan keteladanan dalam segala hal memang tidak mudah. Mendidik masyarakat dan generasi bangsa pada kebaikan juga membutuhkan waktu bertahun-tahun. Tetapi ia akan segera dicapai jika semua ajaran, nasehat, dan penyuluhan dapat dilaksanakan tiap individu. Sikap keteladanan yang ditunjukkan dalam hidup akan mengantarkannya pada hakekat tertinggi manusia, sebab kita telah menjalankan sesuatu yang kebanyakan manusia masih mendiskusikannya. Sehingga pada akhirnya, ia telah memiliki pegangan, mampu mengatur pola hidup, dan peka terhadap fenomena di sekitarnya, serta menyikapinya dengan penuh welas asih dan kelapangan dada.

Sungguh indah jika kebersamaan membangun berjalan beriringan, kesadaran menjaga identitas bangsa menjadi kebanggaan, dan keteladanan menjadi ukurannya. Jika beberapa hal ini terpatri dan terlaksana, tak ayal lagi, kita bersama akan menyaksikan eksistensi Indonesia dengan sejuta aksesoris keindahannya yang mampu menghipnotis setiap netra untuk menyelami setiap sudut kekayaan alam orisinilnya. Bahkan, suatu saat –sangat mungkin- kita akan mendengar Indonesia kita didaulat sebagai negara teladan dalam memelihara eksistensi bumi persada. Semoga bangsa ini terjaga dari kesadaran pada keteladanan setelah kehancuran.

1 komentar:

Vidzas Erdien 29 Juni 2009 pukul 07.01  

h atas bagi-bagi ilmunya!!!

  © Blogger template Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP