Seandainya Hari-Hari Kita Adalah Ujian
>> Jumat, Agustus 22, 2008
Tak diragukan lagi, sebagian besar dari kita masih harap-harap cemas menanti keputusan nilai ujian dari kampus al-Azhar. Bayang-bayang lulus atau tidak serasa menjerembab diri. Semuanya hanya bisa menyerahkan segala yang terjadi pada Sang Kuasa.
Tentunya fenomena ujian –untuk saat ini- masih asyik diwacanakan. Dari cara belajar misalnya, niscaya akan kita temukan beberapa metode yang layak kita kaji. Terlebih karena mengkaji kembali hal tersebut akan menengedahkan kita untuk saling bermuhasabah dalam mencari solusi belajar terbaik.
Beberapa orang mahasiswi sempat saya utarakan pertanyaan tentang cara belajar. Sebagian menjawab bahwa seketika buku diktat terbeli, mereka membacanya hingga halaman terakhir dalam waktu satu hari. Lantas, mereka akan membacanya berulang-ulang hingga menjelang ujian. Saya tertegun atas tekad dan usaha mereka. Tak heran mereka meraih nilai yang tergolong istimewa tiap tahunnya. Sebaliknya, ada beberapa kawan sempat menuturkan bahwa mereka lebih suka menyicil bacaan diktat.
Tipe belajar mahasiswi pertama sangat menarik. Bermodalkan semangat belajar yang membuncah, setiap diktat habis dibaca dalam waktu satu hari. Hal ini akan semakin menarik apabila dia tak lupa memanfaatkan waktu seefisien mungkin untuk menelan habis buku non-diktat dalam waktu satu hari.
Sempat bergelayut kisah menarik di alam khayal saya. Membayangkan seorang mahasiswi yang dalam waktu tiga hari dapat menguasai buku sedetail mungkin. Satu hari untuk membaca. Satu hari untuk mengulang membaca hingga tiga atau empat kali. Dan satu hari untuk mempresentasikan di hadapan beberapa orang kawan. Wah, selepas menyelesaikan jenjang perkuliahan, tentunya dia kembali ke Indonesia dengan bermodal wawasan keilmuan.
Sayangnya, fakta tak sesuai harapan. Beberapa kawan sempat mengutarakan bahwa Masisir khususnya mahasiswi cukup menyelesaikan jenjang perkuliahan tanpa perlu neko-neko membaca buku non-diktat. Yang terpenting, setiap mahasiswi lulus dengan cepat tanpa perlu memperhatikan harapan masyarakat sekembalinya dari Mesir.
Pun saya mengetengahkan persoalan ini, bukan berarti saya menjustifikasi dekadensi intelektual mereka. Hanya saja, ada beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan pada penghambat progresifitas wawasan keilmuan mahasiswi.
Sebut saja yang pertama adalah faktor personal. Mahasiswi kita identik dengan perasaan kurang percaya diri dalam menjajal wawasan lain. Padahal, apabila dengan kemampuan segitunya kita mampu mengarahkan mereka, setidaknya akan kita temukan sosok perempuan intelek progresif di Masisir ini.
Faktor kedua lebih menekankan pada aspek komunal atau sosial. Perempuan terlahir ibarat daun putri malu. Yang apabila disentil sedikit saja, akan mengatupkan daunnya. Begitu juga dengan perasaan perempuan. Kalaulah mereka diiming-imingi permasalahan sosial, perasaan mereka cenderung menarik mereka. Buku yang berwawasan pun akan ditinggalkan. Seandainya mereka bisa memposisikan seimbang dan memanfaatkan waktu kosong, mereka bisa memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang keilmuan.
Yang tak kalah penting adalah faktor institusional. Mahasiswi kita rupanya telah mencium ajaran bahwa perempuan lebih baik keluar masuk dapur, sumur dan kasur. Kalaupun ingin berwawasan luas, mahasiswi dapat menempuhnya dengan sekedarnya dan sebegitunya saja.
Bila ditelisik lebih lanjut, ajaran tersebut bersifat personal pada awalnya yang berkembang menjadi tradisi. Yang sangat disayangkan ialah apabila hal ini berbuntut pada pengakuan tiap personal bahwa ajaran tersebut adalah instruksi dari institusi. Padahal belum tentu ajaran tersebut berasal dari suatu institusi.
Hal ini bisa saja terjadi disebabkan –mungkin- tiap personal kurang memahami visi misi institusi tersebut. Bisa jadi tiap personal bangga mengagung-agungkan institusi demi kemudahan mencapai tujuan. Padahal, suatu ajaran akan semakin melekat apabila diakui secara personal, bukan berembel-embelkan institusi. Syukur-syukur hal ini menjadi kesadaran tiap pribadi.
Rasulullah dan Pendidikan Perempuan
Rasulullah sebagai motor penggerak pendidikan Islam tak pernah lalai terhadap pendidikan perempuan di zamannya. Porsi pendidikan diberikan setaraf dengan kaum Adam. Kala itu, Nabi memberikan hak belajar, hak bertanya dan hak berdiskusi pada perempuan setaraf dengan laki-laki.
Dari sejarah para sahabiyat, hingga beberapa perempuan yang berhasil mewarnai blantika keilmuan Islam. Khadijah –misalnya- menjadi ikon pelindung Nabi di kala menerima wahyu pertama. Aisyah tak kalah tandingan. Dia menjadi perawi hadis terbanyak dan aktif di majlis ilmu.
Kini, pursuit of knowledge Nabi dalam mendidik kaum Hawa dan memperkuat peranannya di masyarakat diterapkan kembali oleh salah seorang pembaharu Mesir Rifa’ah al-Thahthawi. Baginya, perempuan berhak mengenyam pendidikan. Dia sarankan kepada setiap pendidik kaum Hawa untuk membiarkan sifat malu, segan, dan takut tetap menjadi atribut perempuan. Asalkan mereka berniat kuat untuk senantiasa belajar.
Sungguh indah membayangkan mahasiswi kita membaca buku selain diktat perharinya satu buku. Indah rasanya apabila kita mereferensi setiap buku yang telah kita baca. Indah rasanya apabila kita saling bertukar pikiran atas buku-buku tersebut. Tentunya, keindahan ini akan semakin indah terasa apabila kita sempatkan diri membaca kitab suci. Kecuali kalau mereka bangga dengan hidup hedonisme. Silakan saja!
0 komentar:
Posting Komentar