Sang Pencuri

>> Selasa, Oktober 21, 2008

Aku masih diam. Bias bayangan gadis itu menggangguku. Semacam ada salah mendera, ada penyesalan tak terlua, dan ada secarik perasaan berdosa. Namun bagaikan hujan mencurah, semua hanya tinggal rasa, perasaan seorang pencuri. Aku telah mencuri buku diktat kuliahnya. Padahal aku yakin barang itu teramat sangat berharga baginya. Aku masih sibuk dengan perasaanku, rasa bersalah dan berdosa.


“Izzayik, Ya Madame?” Sapa gadis itu tiba-tiba. “Alhamdulillah.” Jawabku kemudian.Wajahku pucat masam saat dia menyapaku. Namun seketika itu, keanehan terjadi. Aku tak melihat hal yang terjadi padaku ini terjadi padanya. Padahal, barangnya baru saja aku curi. Tak ada sedikitpun garis kesedihan terbias di wajahnya yang manis. Malahan senyum simpul tersungging dari lesung pipinya. Aneh, pikirku. Sementara dia kelihatan begitu tenang. Aku juga berusaha tak menampakkan rasa takut walaupun aku sulit menyembunyikan kecamuk perasaan dalam hati.

“Madame, apa Madame melihat tas yang saya taruh di sini kemarin?” Gadis itu bertanya padaku. “Nggak, Nak. Saya kemarin cuma sebentar di sini. Saya tak melihat ada tas di sini.” Meyakinkan dan datar kujawab pertanyaannya, seolah aku benar-benar tak tahu.

“Madam, kalau saya boleh curhat ke Madam, saya mohon Madam sudi mendengarkan. Saya di sini sebatang kara, tiada ayah dan ibu. Madam mau kan saya anggap sebagai ibu saya?” Tiba-tiba dia berkeluh kesah dan mau jadi anak angkatku. Aku hanya mengangguk pelan. Tanpa suara dan kata.

“Saya dari Indonesia, Madam. Indonesia sangat jauh dari Mesir. Saya adalah harapan negeri saya. Bagaimana saya akan lulus ujian kalau buku diktat saya hilang? Saya merantau ke Kairo hanya karena saya ingin mencari ilmu dan meraih cita masa depan saya.” Dia melanjutkan keluh kesahnya. Kulihat tetesan air mata mulai mengalir dari kedua kelopak mata menuruni kuning langsat pipinya.

Belum selesai dia bicara, aku menyela. Aku merasa bicaranya menuduhku, “Jadi kamu menuduhku ya? Kenapa kamu tak menuduh orang lain? Walau bertampang gembel, tapi saya bukan pencuri, Nak!”

“Nggak, Madam. Jangan salah sangka, sama sekali tak terlintas pikiran seperti itu. Saya hanya ingin berkeluh kesah pada Madam. Siapa tahu Madam kemarin tahu pencurinya. Madam, Madam punya anak kan?” Tanya anak itu seolah mengalihkan topik pembicaraan.“Ya,” jawabku singkat.

Aku ingat anak-anakku. Aku sedih. Anakku lima. Tiga diantaranya lulus ibtidâî. Mereka kini seprofesi denganku, pencuri. Satunya masih kelas enam ibtidâi, dan yang bungsu satu ibtidâî. Aku memang Ibu yang tak becus. Perasaan itu muncul begitu saja.

***
Cahaya bulan purnama masih berseri-seri, tak tertutup awan. Semilir dingin angin gurun campur debu masih seperti malam-malam kemarin, setia menemaniku. Aku duduk sendirian di balik jendela, menerawang lapisan langit di angkasa. Deru penyesalan menguasai, menciutkan hati.

Memori pencurian itu mengusik lagi, lekat sekali dan sulit dihindari. Meski biasa mencuri tapi pencurian kali ini lain, membawa ketaktenangan batin. Baru kali ini seperti ini. Kenapa?

Kenangan berkelebat uncul begitu saja. Hari itu aku bertemu dengannya di masjid. Kuamati tasnya yang cantik. Aku yakin di dalamnya terdapat uang, HP dan barang berharga lainnya.

Ketika keadaan dalam masjid mulai sepi, aku berkata padanya, “Nak, kamar mandinya mau diperbaiki. Kalau mau wudhu, harus sekarang.” Sejurus aku gunakan tipuan jitu.

Dia begitu polos, tak mengerti apa-apa, menurut saja. Aku tahu, pasti dia masih anak baru. Saat pergi ke kamar mandi, dia lupa membawa tasnya. Melihat dia masuk, tas yang kukira beisi barang berharga langsung aku sambar. Lalu pergi.

“Hore, hari ini aku banyak uang. Tunggu aku, Anak-anakku sayang!” Rasa gembiraku menguasai karena kudapati curian berharga. Namun kebahagiaan itu hanya sesaat. Sebab ketika kubuka, tas itu hanya berisi beberapa buku diktat dan al-Qur’an. Tak apalah, setidaknya aku mendapat tas sekolahnya. Tas sekolah ini akan kuberikan pada anakku, pikirku. Saat itu.

***

Hari dan minggu pun berlalu. Namun aku tak kunjung mengembalikan tas itu. Walau aku tersadar bahwa buku diktat di dalamnya itu sangat penting baginya. Untuk mahasiswa seusia dia, buku diktat adalah segala-galanya. Aku merasa kasihan. Lagi-lagi, tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Aku masih memiliki anak di bangku sekolah dasar. Mereka benar-benar membutuhkan buku, SPP, dan peralatan sekolah. Dan semuanya itu hanya bisa ditebus dengan uang.

Tapi kini, aku malah mengambil hak itu. Hak yang sangat berharga dari seorang anak, anak yang jauh-jauh belajar ke negaraku ini. Pastinya anak itu memiliki kebutuhan yang sama dengan anakku. Apa yang telah kulakukan padanya?

“Ya Mama, bukuku hilang. Bagaimana saya bisa belajar, Mama? Besok saya ujian, Mama.” Anakku yang duduk di kelas enam ibtidâî mengadu. Lamunanku buyar mendengar aduan serta tangisannya.

Dari ceritanya aku tahu bahwa tas yang dipakainya ternyata sangat menarik hingga pencopet pasar berhasrat mengambilnya. Ya, tas yang kucuri di masjid itu telah kuberikan pada anakku. Namun tas itu sekarang tak kuketahui ujung rimbanya. Ganti dicuri orang.

“Ya Allah, apakah ini hukum karma ya?” Tanyaku dalam benakku. Ya Allah, buku itu sangat penting untuk anakku. Aku tak mau gagal dalam ujian hanya karena bukunya hilang. Aku lemas seketika.

Erat kupeluk tubuh anakku. Airmataku berlinang membasahi punggungnya. Aku tak kuasa menahan. Deras, semakin deras. Aku terantuk pada dua pilihan, antara harus menghadapi kenyataan atas penderitaan anakku dan kenyataan bahwa aku juga seorang pencuri.
Ya Allah, kenapa ini terjadi?

***

Penyesalan tak berkesudahan membawaku pada satu keputusan, aku harus menemui gadis itu. Aku sedih atas segala yang menimpa keluargaku. Penyesalan ini tumbuh bersama musibah yang menimpa anakku. Betapa bodohnya diri ini yang tak pernah mau mengerti keadaan orang lain. Ya Allah, ampunilah dosa hamba-Mu ini. Aku menyesali segalanya. Aku insyaf.

Kulangkahkan kaki menuju masjid. Walau terseok-seok melangkah akhirnya sampai juga di depan tangga menuju pintu masuk mushallâ li al-sayyidât. Jantungku berdegup, makin lama makin kencang. Rasa takut dan was-was menghantui.

Pandanganku menyisir tiap-tiap sudut masjid. Nihil. Tak kutemukan gadis itu. Aku tertegun sejenak. Urat nadiku berdetak pelan, sedikit demi sedikit. Aku hentikan langkahku sebentar, menenangkan diri. Aku sedikit tenang. Namun aku tetap tak kuasa menahan beban penyesalan. Antara ketenangan karena aku belum bertemu gadis muda Indonesia dan beban kupikul di atas pundakku. Segala penyesalan saling berbenturan.

Aku bersabar menanti gadis itu muncul. Dalam penantian panjang, aku beristighfar atas segala kesalahan yang kulakukan, bersalawat dan memuji Yang Maha Pengasih.

***

Dua jam menunggu, terdengar suara langkah kaki dari balik tangga. Jantungku berdegup kencang. Aku yakin itu dia. Ah, bukan. Itu bukan dia. Aku kembali tenang. Aku menunduk sebentar. Sejenak kemudian aku mengangkat kepala. Mataku menyisir ke pojok masjid sebelah kanan. Aku melihat gadis itu. Roman wajah yang tak asing lagi bagiku. Dia sedang salat Dhuha. Aku mendekatinya. Ya Allah, benar. Dia gadis itu. Gadis yang selama ini telah kurisaukan hatinya.

Selesai salat, aku menatapnya. Dua tetes kristal bening dari bola mataku membasahi kedua tanganku. Aku mendekatkan diri, lebih dekat lagi. Aku tak kuasa berkata. Aku memeluk tubuhnya seolah tak ingin sedikit pun melepaskan. Seolah kutub negatif tubuhku telah terikat oleh kutub positif tubuhnya. Gadis itu terperanjat, tak faham dengan tingkahku. Dari raut mukanya aku tahu dia kaget dan heran. Seolah ribuan tanda tanya besar dan kecil berbagai bentuk dan warna berputar di atas kepalanya. Apalagi tangisku ikut meledak.

Sejenak, tangisku reda. Kulepas pelukanku. Satu demi satu tanganku terpisah dari punggungnya. “Apa kabar, Nak. Siapa namamu?” sapaku kemudian. “Alhamdulillâh. Saya baik-baik saja. Nama saya Karimah. Dan Anda, bagaimana kabar Anda? Sehatkah?”

“Saya juga, Nak,” jawabku kemudian. “Nona muda, saya mau minta maaf atas segala kesalahan saya selama ini.” Pintaku padanya penuh harap. “Maaf, Madam. Saya sungguh tak mengerti maksudmu. Madam, Madam salah apa?”

“Nak, sebenarnya selama ini aku berbohong padamu. Akulah pencuri tasmu itu, Nak. Maafkan aku, Nak. Maafkan.”

“Madam jangan merasa menyesal seperti itu. Saya sudah mengcopy buku dari teman. Madam jangan khawatir.” Jawabnya santun.

“Nak, aku ke sini hanya bisa mengembalikan buku karena tasmu telah raib dicuri orang, Nak. Dengan apa saya harus menggantinya? Maafkan saya, Nak.”

“Madam, saya tak butuh tas saya lagi. Saya hanya butuh buku diktat saya. Kalau Madam mengembalikan buku diktat saya saja, saya sangat senang sekali.” Gadis itu menjawab tanpa menyisakan gurat dendam sama sekali padaku.

Kusodorkan padanya buku diktatnya. Tersenyum ianya padaku. Aku merasa damai. Setelah itu, aku berlalu.

“Ya Madam, kemarilah, Madam!” gadis itu memanggilku kembali. “Ada apa, Nak.” Tukasku sambil terus mendekatinya. “Nggak, Madam. Saya hanya mau memberi ini.”

Dia mengeluarkan uang kertas dua puluh pound-an, disodorkannya padaku. Aku menolak. Namun gadis itu tetap memaksa dengan menyatukan ujung jarinya dan menggerakkannya di hadapanku pertanda memohon.

Aku tak mampu mengelak. Aku terima uang itu dan kucium kedua pipinya berkali-kali. Airmataku makin lama makin kurasakan semakin deras dan tak kuasa kutahan. Kubiarkan berlinang membanjiri wajahku. Aku berat meninggalkan rasa haru yang diam-diam menyelinap di kalbu. Andai dia merasakan apa yang kurasakan sekarang? Seandainya... Ya, seandainya...[]

Alih bahasa:
Izzayik : Apa kabar?
Madam : Sapaan dialek Mesir untuk Nyonya
Mama : Sapaan dialek Mesir untuk Ibu
Mushallâ li al-sayyidât : Mushallâ untuk perempuan

0 komentar:

  © Blogger template Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP