Menelisik Kegamangan Kehormatan Perempuan
>> Selasa, Oktober 21, 2008
"Perempuan terjepit!!!" fenomena menarik yang beredar di masyarakat bahwasanya perempuan selalu dihadapkan pada masa dilematis antara dua hal yang sering mengusik masa transisi dan stabilitas kehidupan mereka. Ketika perempuan ingin mempertahankan kehormatan mereka dengan lebih mempertahankan suatu tradisi, perempuan juga dituntut untuk nrimo fenomena teranyar arus globalisasi yang mengharuskan problem solving serba cepat seiring berkembangnya komunikasi progresif.
Setiap kali saya hunting buku tentang kaum perempuan, saya juga sering menemukan judul buku yang selalu memposisikan perempuan pada dua sisi tersebut. Seperti judul buku yang dikarang Ramadhân al-Bûthî, al-Mar'ah baina Thughyân al-Nidzâm al-Gharbî wa Lathâif al-Tasyrî' al-Rabbânî dan buku yang dikarang Alî Jum'ah, al-Mar'ah fî al-Hadhârah al-Islâmiyah baina Nushûs al-Syar'î wa Turâts al-Fiqh wa al-Wâqi' al-Ma'îsyî. Bulan Februari kemarin, saya juga sempat mengikuti seminar World Assembly Moslem Youth (WAMY) yang berjudul al-Mar'ah baina Mathâriq al-'Aulamah wa Sindân al-Maurûts al-Ijtimâ'î.
Realita yang ada sudah cukup membuktikan bahwa perempuan di Timur Tengah mengalami fenomena yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Seperti halnya yang terjadi di Arab Saudi dalam rangka menggalakkan proses transformasi ilmu, pada tahun 1955, pemerintah Arab Saudi tidak segan-segan memberikan porsi belajar kepada kaum Hawa dengan cara memisahkan kaum Hawa dari kaum Adam di setiap jenjang pendidikan kecuali Taman Pendidikan Taman Kanak-kanak. Tidak hanya itu, fenomena terakhir menyebutkan, perempuan Arab Saudi mendapat larangan operasional mobil dan sejenisnya.
Lain halnya yang terjadi di Turki, Maroko dan Tunisia. Pada rezim Kemal Ataturk –yang terkenal dengan sekulerisasi peradabannya, pemerintah Turki melarang fenomena hijab muslimah di . Rupanya, fenomena pelarangan hijab tersebut juga turut mewarnai negara lain seperti Tunisia, Maroko dan sempat menyentuh ranah peradaban Iran. Beberapa waktu lalu, RAM (Royal Air Maroc) juga melarang penggunaan hijab bagi buruh perempuannya. Bahkan, mereka mengadakan standarisasi seragam resmi. Tak tanggung-tanggung, pemerintah Maroko juga turut mendukung program RAM tersebut dengan pelarangan yang sama dan menghapus gambar-gambar perempuan berjilbab di buku-buku sekolah.
Pada kenyataannya, problematika perempuan sering mengetengahkan dua fenomena yang simpang siur, yaitu fenomena perempuan Timur Tengah dan perempuan Barat. Di Amerika misalnya, gerakan emansipasi perempuan dinilai berhasil meningkatkan jumlah perempuan bekerja. Namun sayangnya prestasi tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah pendapatan perkapitanya. Berdasarkan laporan beberapa situs, survey membuktikan, pada tahun 1985 perempuan AS hanya mendapatkan tingkat upah rata-rata 64 % dari tingkat pria. Tidak hanya itu, kekerasan terhadap perempuan turut mewarnai negara yang mengaku pioner demokratis tersebut. Terbukti, sekitar 13% atau 12,1 juta anak gadis Amerika pernah diperkosa lebih dari satu kali dan yang membuat miris adalah bahwasanya 61%nya belum mencapai usia 18 tahun.
Di Jerman, fenomena yang terjadi tidak jauh berbeda. Menurut sebuah penelitian, setiap lima belas menit telah terjadi perkosaan terhadap perempuan. Ini belum termasuk data riil yang terjadi di lapangan. Tentunya apabila ditelisik lebih dalam, masih banyak kaum perempuan yang mengalami nasib yang sama atau bahkan lebih miris lagi. (Maisar Yasin, Perempuan Karir dalam Perbincangan, halaman 96)
Fenomena kontradiktif tersebut sebenarnya hanya bermuara pada satu hal yaitu kehormatan perempuan, dengan mengedepankan dua cara yang berbeda yaitu mempertahankan kehormatan perempuan dan membentuk perempuan terhormat. Mempertahankan kehormatan perempuan merupakan salah satu hal yang sudah seyogyanya dilakukan oleh setiap perempuan karena perempuan memiliki kewajiban untuk mempertahankan kehormatannya yang semuanya tercermin pada kemampuan protektif harga dirinya. Proteksi harga diri sebenarnya dapat diaplikasikan dengan powerisasi sikap dan penyuaraan suara hatinya yang paling dalam (dhomir). Hal ini dapat dilakukan dengan pembentukan idealisme perempuan yang diharapkan mampu menjadi ujung tombak dalam mengambil berbagai prinsip dan keputusan.
Ketika di tubuh Islam proses protektif kehormatan perempuan tersebut sedang dielaborasi, di Barat sebaliknya, proses protektif kehormatan perempuan tersebut justru dianggap telah mencapai proses penggodokan yang kuat sehingga muncullah keinginan untuk membentuk perempuan terhormat. Nah, salah satu komponen pendukungnya adalah mencetak perempuan intelek. Sayangnya, taraf aplikasi pemberdayaan perempuan tersebut dibarengi dengan proses fenomena pembebasan ruang gerak perempuan untuk memamerkan bentuk tubuhnya dan batasannya pun sejak awal tidak pernah dicermati. Sehingga pelanggaran kodrati seorang perempuan dianggap sebagai suatu hal yang wajar selama mendukung kepuasan era globalisasi. Padahal, seharusnya proses sinergi kekuatan perempuan secara otak tidak perlu ditampilkan dengan fenomena umbar aurat.
Dari sinilah muncul anggapan di tubuh Islam bahwa degradasi moral perempuan merupakan akibat dari improvisasi intelektual Barat. Suatu hal yang lumrah tentunya, ketika seorang perempuan diberikan kebebasan berekspresi, ada beberapa oknum yang menyuarakan pingitisasi perempuan dengan cara menolak atau meminimalisasi hasrat mereka dalam menimba ilmu dan menjajal segala kemampuan bercerminkan pada fenomena yang terjadi di Barat tersebut.
Sebenarnya, pun pada kesempatan ini saya berteori, saya bukanlah problem solver terbaik permasalahan ini. Namun demikian, saya berharap semoga teori –yang saya ketengahkan di sini- dapat dijadikan sebagai salah satu bahan perenungan bersama.
Secara kehormatan, perempuan memang memiliki standar kehormatan yang dalam beberapa hal yang tidak dimiliki kaum Adam. Perbedaan tersebut tampak pada tiga aspek, spiritual, emosional, dan intelektual. Pada aspek spiritual, perempuan memiliki kehormatan untuk menjaga aspek seksualitas. Maksudnya, ketika kaum Adam diberikan porsi batasan aurat dari pusar hingga lutut, perempuan mendapatkan kehormatan untuk mendapat porsi lebih, yaitu seluruh badan kecuali telapak tangan dan wajah. Tentunya, proteksi aurat tersebut haruslah berkaca pada batasan penutup tubuh yang sesuai syariat Islam antara lain, longgar dan tidak transparan.
Kemampuan perempuan dalam menyejukkan hati kaum Adam merupakan salah satu kehormatan perempuan pada aspek emosional yang tidak dimiliki pria. Berkaca pada tulisan Saudara Ahdi Rif di buletin Terobosan, fakta membuktikan, bahwasanya dukungan moril yang diterapkan dengan pengayoman, penyejukan hati, penenangan jiwa, kehangatan kaum Hawa atau apalah namanya banyak memberikan kontribusi besar pada perkembangan tiga agama samawi. Salah satu contohnya, kita dapat bercermin pada apa yang dilakukan Siti Khadijah ketika berhasil memotivasi Nabi untuk tegar dalam menerima wahyu pertama kali.
Demikian halnya kehormatan perempuan pada aspek intelektual. Pada situasi tertentu, eksistensi perempuan dalam dunia intelektual banyak dibutuhkan dalam aspek mutakâmil atau penyempurna kaum Adam. Aspek ini apabila saya definisikan di sini akan semakin memperluas pembahasan di samping memerlukan banyak perenungan. Nah, teori 'standarisasi' intelektual penyempurnanya perempuan inilah yang merupakan PR bagi kita bersama demi tercapainya stabilitas kehidupan perempuan yang mampu mensinergikan aspek intelektual, spiritual dan emosional. Mari bergabung!
0 komentar:
Posting Komentar