Mahasiswi Sekedar Pemanis? Jawaban bagi yang ragu!
>> Sabtu, Agustus 30, 2008
“Ah, namanya cewek, kiprahnya di Masisir itu cuma buat pemanis doang. Nggak bisa diandalin, capek deh!!!” Sebuah opini yang beberapa kawan lontarkan tersebut mengilhami saya untuk mengejawentahkannya sebagai obyek penulisan saya.
Serta merta saya seolah ditimpuk berbagai lambang tanda tanya lengkap dengan pertanyaannya di atas kepala; apakah benar mahasiswi kita adalah pemanis? Latar belakang apa yang membawa mereka melontarkan klaim tersebut? Terus apa solusinya? Beberapa pertanyaan tersebut selalu saja menyelinap namun saya belum bertatap muka dengan solusinya.
Rupanya pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah selayaknya segera ditanggapi dan dicari jawabannya. Semakin penuh pertanyaan, semakin saya tidak menemukan solusinya. Bagi saya, opini tersebut layak dicermati lebih dalam lagi. Mengingat anggapan bahwa mahasiswi sebagai pemanis di berbagai kiprah kemahasiswaan memberikan sinyal keraguan atas kemampuan mahasiswi. Ini berarti masa sekarang tidak mampu mengangkat nilai-nilai mahasiswi.
Pada kenyataannya, pengalaman saya –meski subjektif—berkata lain. Dalam setahun perjalanan saya menjalankan amanah di organisasi induk mahasiswi, saya melihat jelas peran dan kredibilitas kerja mahasiswi. Misalnya, saya menemukan kepanitiaan co-mahasiswa-mahasiswi yang kerja lapangannya didominasi mahasiswi. Ketika itu, yang menjadi sorotan saya adalah bagian penerbitan jurnal di salah satu kepanitiaan PPMI. Dari rancangan kerja, penentuan tema, wawancara, hingga lay out, saya menemukan dominasi mahasiswi begitu kental. Bahkan ajaibnya, mereka mampu menerbitkan dua jurnal dengan rentang waktu kepanitiaan selama satu minggu.
Di lain kesempatan, saya juga pernah menemukan dominasi mahasiswi yang ketika itu mendapat amanah sebagai seksi acara sebuah kegiatan PPMI. Dominasi itu terlihat dalam pendataan peserta, menggerakkan peserta, hingga mengatur jalannya acara. Pengalaman saya ini tentu hanya sebagian kecil dari catatan sejarah peran mahasiswi pada masa-masa sebelumnya. (Lihat peran mereka di media-media Masisir, persidangan-persidangan dan penyelesaian masalah-masalah penting.) Sudah jelas, anggapan kiprah mahasiswi sebagai pemanis harusnya ditepis sejak jauh hari.
Di lain pihak, bisa jadi opini miring soal mahasiswi muncul sebagai bias keadaan tanah air yang menjadikan wanita sebagai alat untuk kesenangan pria. Hal ini dikuatkan melalui siasat media massa yang menggunakan gambar wanita untuk melariskan barang-barang konsumtif, menyiarkan ide kontes ratu kecantikan atau kontes peragaan busana yang mempertontonkan aurat. Kenyataan ini, disamping bertujuan menarik minat pasar, tetapi juga tanpa disadari untuk menegaskan anggapan bahwa wanita hanya sekedar ‘pemanis’. Dan jadilah fenomena umbar aurat wanita sebagai satu-satunya dasar yang menunjukkan nilai dan statusnya di tengah-tengah masyarakat.
Pada dasarnya, banyak hal positif pada gerakan pemberdayaan wanita kontemporer. Pintu kesempatan untuk menggali potensi dan meningkatkan wawasan menjadikan dia mampu berkiprah dalam banyak bidang. Akan tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk mengatakan bahwa kebangkitan wanita ini dibarengi dengan banyak hal yang memperburuk moralnya dan jati dirinya. Hal ini terjadi lantaran makin bertambahnya jumlah wanita karir makin membuahkan persaingan tidak sehat di antara mereka. Lihat saja, banyak wanita karir ‘banting setir’: yang semula menuju profesionalisme kerja ‘membelot’ mengarah kepada ajang unjuk diri di hadapan kaum Adam atas nama ‘emansipasi’.
Tanpa menyalahkan satu pihak pun, saya memandang perlu adanya koreksi dari kedua belah pihak, baik dari mahasiswi maupun dari pihak yang melontarkan opini miring tersebut. Hendaknya dari pihak pelontar opini memberikan dukungan dan mengupayakan pemberdayaan perempuan dalam aspek intelektual, moral dan spiritual sehingga semuanya jalan seimbang. Karena opini ‘pemanis’ yang mereka ketengahkan tersebut –sekali lagi- merupakan penghambat kesempatan mahasiswi untuk berkiprah di Masisir, meskipun saya tidak menafikan bahwa hal tersebut juga pemacu mahasiswi untuk menunjukkan jati dirinya sebagai mahasiswi muslimah yang berkarakter.
Sebagai otokritik untuk mahasiswi, hendaknya kita –mahasiswi- perlu menyadari bersama bahwa di dunia mana pun wanita terus jadi sorotan. Tindak tanduk, perilaku, dan nilai sopan santunnya selalu dicermati. Di sinilah kita bersama hendaknya hati-hati dalam bersikap dan tetap berusaha memberdayakan diri. Solusi beruzlah dan cenderung menghilangkan diri dari blantika kemasisiran bukanlah solusi tepat demi menjaga kredibilitas moral mahasiswi karena pandangan terhadap wanita sudah saatnya diubah, dari sekedar ‘pemanis’ menjadi manusia yang terhormat. Sehingga di sinilah diperlukan adanya peran aktif mahasiswi untuk mengubah opini tersebut, bukan hanya tinggal diam dan menghindar dari realita yang ada.
Perlu kita ketahui pula bahwa kita sebagai mahasiswi sudah saatnya menggalakkan budaya efektivitas orientasi mahasiswi dalam menjalankan fungsinya sebagai mahasiswi negeri asing yang diharapkan mampu mewarnai masyarakat kita yang multidimensional nantinya. Tentunya, budaya killing time, hedonis, shopping, travelling, chatting dan lain-lain yang mengarah pada disorientasi mahasiswi, perlu satu persatu kita kurangi prioritasnya.
Dengan momentum ini, kita perlu juga mengadakan penyadaran tiap-tiap pribadi (self awareness) akan perlunya peningkatan diri dari segi moral. Karena lagi-lagi, opini skeptis di atas hanya mengajak pada satu hal yaitu bahwa mahasiswi perlu mengislah tatanan moralnya dan menghindari tindakan yang salah, perbuatan yang merusak dan perilaku yang menyimpang (destroying behavior). Menurut hemat saya, proteksi moral mahasiswi terkadang wajib bukan hanya boleh. Pertama, karena seorang muslim lebih diharapkan untuk pandai bersikap dalam berbagai situasi termasuk menjaga kredibilitasnya. Ini didasari atas asumsi bahwa missi dakwah seorang muslim adalah bagaimana dia mampu memenej nilai-nilai Islam. Akan tetapi ini tidak menutup kemungkinan untuk memiliki nilai plus dalam menjajal segala kemampuan. Kedua, sebagai muslimah harus memaksimalkan aspek tsaqofahnya agar mampu menangkal berbagai ide-ide yang berusaha memarjinalkan muslimah. Ketiga, apabila seorang muslim kehilangan moralnya, maka dia telah kehilangan segala sesuatu yang dia miliki di dunia ini sebagaimana dipaparkan oleh sebuah peribahasa ‘who loses material of goods he loses nothing; who loses health he loses something; who loses moral he loses everything.’ Wallâhu a’lamu bi al-shawâb.
0 komentar:
Posting Komentar