Di Bawah Naungan Masjid Al-Azhar 1
>> Kamis, Desember 25, 2008
.: Episode 23 Desember 2008
Langit nampak suram. Rupanya ia tak merestui warna biru menghiasinya. Ia lebih tertarik menyambut debu gurun untuk menari ‘kecak’ bersama angin yang gemulaiannya ‘benar-benar’ menggigilkan badan. Burung pun enggan berceracau di udara walau sekedar untuk menghidupkan suasana langit. Sepertinya burung-burung itu takut mengidap penyakit flu (just an intermezzo). Memang, udara hari ini benar-benar tak mau diajak bersahabat.
Setelah melaksanakan aktifitas pagi, sebenarnya saya ingin segera terpekur dengan muqarrar saya dengan segera. Tersebab al-Qur’an saya dan al-Qur’an Andri ketinggalan di masjid Musa Sabi’, akhirnya saya terpaksa mengambilnya dengan segera. Pukul 10.45 AM saya berangkat dari Asrama Bu’uts -tempatku bernanung selama kurang lebih lima bulan ini- menuju Sabi’.
Dari masjid Musa Sabi’, saya percepat langkah menuju mahattah Vila untuk menunggu kendaraan yang akan mengantarkan saya ke masjid Al-Azhar. Angin berhembus makin kencang. Kacamata saya agak kabur karena terhempas hembusan angin bercampur debu yang benar-benar tak menyehatkan. Sejenak kemudian, saya bersihkan dengan lap kacamata yang selalu saya bawa pergi kemanapun.
Dengan mengendarai 24 jim, saya bertolak menuju masjid Al-Azhar. Udara tetap saja tak bisa diajak berkompromi hari ini. Saya hampir-hampir putus asa. Namun, satu pelajaran berharga tiba-tiba menyelinap di alam fikiran saya hari ini. Yaitu bahwasanya segala persoalan dalam hidup manusia harus dipasrahkan pada Tuhan. Beruntung, saya hari ini merasa diselamatkan oleh kata-kata ‘pasrah’.
Berbekal kepasrahan ini, saya merasa ‘agak’ sedikit ringan dalam berusaha melaksanakan kewajiban belajar saya hari ini, walau hidung saya agak-agak tersumbat dan saya agak terbatuk-batuk. Apalagi tak seorangpun dari mahasiswi Indonesia yang saya temui belajar di masjid Al-Azhar. Sehingga saya merasa bahwa hari ini saya tak ada tempat kembali (sebagai bidikan menitipkan tas dan tempat berbagi kala suka dan duka maksudnya).
Di sana, saya mempelajari buku Adab dan berusaha mengukirnya di setiap lempengan-lempengan otak saya. Alhamdulillâh, saya benar-benar merasa menikmati aktifitas belajar saya hari itu. Walau ketika saya menelfon ‘seseorang’, dia merasa suara saya agak berat. Ya, karena cuaca hari itu memang tak menyehatkan. Tapi percayalah kawan! Kepasrahan pada hari itu benar-benar membuat segalanya terasa ringan. Entahlah seberapa lama lagi kepasrahan ini akan bertahan. Saya merasa enggan berpisah dengannya.[]
.: Tuhan, dekatkanlah hamba-Mu ini dengan kepasrahan! Biarkanlah dirinya setia menemani hamba! Karena dengan kepasrahan ini, hamba-Mu merasa keberwujudan-Mu benar-benar menaungi setiap hamba, rahmat-Mu benar-benar mengalir. Tuhan, kabulkanlah doa hamba-Mu yang tak berdaya ini. Lâ haula wa lâ quwwata illâ bika, Ya Allâh. Fainnanâ natawakkalu ‘alaika, Ya Allâh. Âmîn. Yâ Rabb al-‘Âlamîn.
0 komentar:
Posting Komentar